“Kita harus punya nilai tawar yang kuat, untuk mendapatkan hak secara permanen dari Timah di Babel, minimal 10 persen lah,” jelas Marshal.
Marshal juga menjelaskan, bahwa Royalti bisa saja dalam wujud obligasi atau surat berharga lainnya yang sudah menjadi asset dan saham bagi Babel dalam bentuk investasi jangka panjang.
Marshal menilai bahwa apa yang menjadi tuntutan ini sangatlah setimpal. Karna menurutnya, selama ratusan tahun adanya aktifitas pertambangan timah, tidak ada yang didapatkan masyarakat Babel. Artinya tidak ada kebermanfaatan untuk Babel dari penambangan timah itu sendiri, kecuali hanya untuk menopang makan sehari-hari masyarakat saja.
“Kenyataanya Babel juga tidak bisa maju oleh masyarakatnya sendiri yang konservatif dalam berpikir serta bertindak, karena ada saja masyarakat yang berdalih pada lapangan pekerjaan bila pertambangan itu ditutup,” tuturnya.
“Padahal Babel bisa maju dengan sektor-sektor lainnya, dan isu seperti ini selalu dimunculkan pada saat terjadinya konflik antara pelaku pertambangan dengan masyarakat yang menolak pertambangan,” sambung Doktor Ilmu Ekonomi ini.
Sementara itu, terkait dalam menangani persoalan tambang ilegal, menurut Marshal, haruslah dilakukan pendekatan yang komprehensif terhadap masyarakat, khususnya yang terdampak secara langsung.
Kendati begitu, dirinya juga tak menampik bahwa hingga saat ini masih begitu banyak masyarakat yang mejadikan sektor tambang sebagai mata pencarian utama dan penutupan tambang tanpa alternatif dapat berdampak buruk terhadap ekonomi lokal.
Halaman Berita ini : 1 2 3 Baca Halaman Selanjutnya
Editor : Redaksi DNID Babel
Sumber Berita : KBO BABEL