Oleh:Baharuddin Solongi (Pengamat Politik dan Konsultan Tata Kelola Pemerintahan)
Makassar, Sungguh ironis fenomena cukong pilkada.Betapa tidak, Studi ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan bahwa sekitar 80% kepala daerah yang terlibat kasus korupsi memiliki hubungan dengan cukong yang membiayai kampanye mereka. Paling tidak,penyebab utamanya adalah tingginya biaya kampanye yang membebani kandidat dan masih terbukanya celah dalam regulasi pilkada tentang pembiayaan politik.
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mencatat bahwa biaya kampanye pilkada untuk posisi kepala daerah bisa mencapai Rp20 miliar hingga Rp100 miliar, tergantung wilayah dan skala persaingan.Tingginya biaya ini memaksa banyak kandidat mencari dukungan dari pemodal besar alias cukong.

Ciri utama cukong pilkada adalah mereka mendanai biaya kampanye pilkada yang besar, termasuk iklan, logistik, dan mobilisasi massa. Mendukung finansial, sering kali disertai kesepakatan tidak resmi, seperti kontrak politik atau janji akses ke proyek pemerintah, konsesi, atau kebijakan tertentu. Dan, setelah terpilih, kepala daerah yang didukung cenderung membuat keputusan yang menguntungkan cukong, dan merugikan masyarakat umum.
Paling kurang, ada dua Kasus nyata yang saya ingat yang melibatkan cukong pilkada.
Pertama, kasus Zumi Zola (Mantan Gubernur Jambi). Zumi Zola terbukti menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha selama kampanye Pilkada Jambi. Setelah terpilih, pengusaha tersebut diberi akses ke berbagai proyek infrastruktur sebagai imbalan. Ia akhirnya divonis hukuman penjara atas kasus korupsi yang melibatkan dana dari cukong. Kedua, kasus Ratu Atut Chosiyah (Mantan Gubernur Banten). Dalam kasus Ratu Atut, ditemukan bahwa pengusaha (cukong) yang mendukung kampanyenya mendapatkan proyek-proyek besar di Banten setelah ia menjabat.
Hubungan erat antara kepala daerah dan pemodal menjadi salah satu faktor dominasi keluarga Atut dalam politik lokal di Banten.
• Bagaimana modus cukong pilkada?
Modus Pertama, cukong memberikan dana tunai untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye, seperti pemasangan baliho, iklan media, dan logistik. Dana tidak dilaporkan secara resmi dalam laporan dana kampanye, melainkan disalurkan melalui pihak ketiga atau rekening khusus.
Modus kedua, sebelum pilkada, cukong dan calon kepala daerah membuat kesepakatan untuk memberikan keuntungan ekonomi atau politik kepada cukong jika calon menang. Kepala daerah yang terpilih memberikan proyek infrastruktur, konsesi sumber daya alam, atau izin usaha kepada cukong sebagai balas jasa.
Modus ketiga, cukong menyamar sebagai kontraktor atau mitra bisnis resmi untuk menutupi aliran dana yang masuk ke tim kampanye calon. Calon kepala daerah menerima dana dengan dalih “pinjaman,” tetapi tanpa kewajiban pengembalian formal.
Modus keempat, cukong menyediakan dana untuk membayar tim sukses yang bertugas memobilisasi massa dan memengaruhi pemilih. Uang diberikan langsung kepada pemilih sebagai bentuk suap untuk memilih calon tertentu.
Modus kelima, cukong membantu calon mendapatkan tiket dari partai politik dengan membiayai mahar politik atau kebutuhan partai. Cukong juga membiayai kebutuhan internal partai sebagai bentuk investasi politik jangka panjang.
Modus keenam, cukong membiayai kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politik calon yang mereka dukung.Media digunakan untuk mempromosikan kandidat tertentu sekaligus menutupi kelemahannya.
Modus ketujuh, cukong memanfaatkan jaringan bisnis mereka untuk mengamankan dukungan dari pengusaha lokal dan birokrat. Setelah calon terpilih, cukong memengaruhi kebijakan agar sesuai dengan kepentingan bisnis mereka.
Modus kedelapan, cukong sering kali tidak terlibat langsung, tetapi menggunakan orang-orang terdekat atau pihak ketiga, seperti tim sukses atau konsultan politik, untuk menyalurkan dukungan dan mengatur strategi.
• Lalu, bagaimana dampak negatif cukong pilkada?
Pertama, pilkada tidak lagi berdasarkan visi, kompetensi, atau integritas kandidat, melainkan pada kekuatan finansial yang dimiliki atau didukungnya.Masyarakat menjadi skeptis terhadap proses demokrasi, menganggap bahwa pemilu hanya ajang bagi elit dan pemodal untuk berbagi kekuasaan.
Kedua, kepala daerah yang terpilih lebih fokus memenuhi kepentingan cukong daripada menjalankan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Politik transaksional ini meningkatkan potensi korupsi, termasuk dalam bentuk suap, gratifikasi, atau manipulasi anggaran publik.
Ketiga, keputusan-keputusan strategis, seperti pemberian izin usaha atau proyek infrastruktur, sering kali hanya menguntungkan kelompok pemodal tertentu, sementara rakyat kecil terabaikan. Cukong sering kali berasal dari sektor bisnis seperti tambang atau perkebunan yang mengeksploitasi sumber daya tanpa memedulikan dampak lingkungan.
Keempat, Kepala daerah yang terpilih berutang budi kepada cukong sehingga sulit mengambil keputusan independen atau berani menolak tekanan pemodal.Proses pengelolaan anggaran dan kebijakan sering kali dilakukan tanpa keterbukaan, demi menyembunyikan kepentingan cukong.
Kelima, Kompetisi antar cukong yang mendukung kandidat berbeda sering kali menciptakan konflik yang memecah masyarakat. Fokus pilkada beralih ke kepentingan finansial, sehingga suara rakyat menjadi kurang diperhatikan. Keenam, rakyat merasa suara mereka tidak lagi berarti karena pemenang Pilkada ditentukan oleh kekuatan finansial, bukan aspirasi rakyat. Cukong mendorong praktik politik uang yang membentuk budaya transaksional dalam masyarakat, melemahkan nilai-nilai demokrasi.
• Bagaimana mengatasi cukong pilkada?
Pertama, menetapkan batas pengeluaran kampanye yang sesuai dengan kondisi daerah dan mengawasinya dengan ketat. Pemerintah menyediakan anggaran untuk mendanai kampanye kandidat sehingga ketergantungan pada cukong berkurang. Dan mengharuskan kandidat melaporkan semua sumber pendanaan secara terbuka, dan laporan tersebut diaudit secara independen.
Kedua, memperkuat fungsi Bawaslu untuk mengawasi dana kampanye, termasuk sumber dan penggunaannya. KPK dan aparat penegak hukum harus aktif memantau potensi korupsi yang melibatkan cukong, termasuk pengawasan setelah Pilkada. Dan, Memberikan hukuman berat, seperti diskualifikasi calon atau hukuman pidana, bagi mereka yang terbukti menggunakan dana ilegal atau terlibat politik transaksional.
Ketiga, melalui kampanye publik dan sosialisasi, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang bahaya politik transaksional dan pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas. Mendorong masyarakat untuk terlibat dalam pemantauan Pilkada dan melaporkan indikasi pelanggaran. Dan, transparansi dalam proses pemilu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengurangi penerimaan terhadap politik uang.
Keempat, kepala daerah wajib menyusun laporan kinerja yang bisa diakses publik, memastikan kebijakan berpihak pada rakyat, bukan cukong.Mengaktifkan forum partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran daerah untuk meminimalkan dominasi cukong.
Kelima, menghapuskan praktik mahar politik sehingga kandidat tidak perlu bergantung pada cukong untuk mendapatkan dukungan partai. Dan Membuat pendanaan partai lebih transparan sehingga partai dapat mandiri secara finansial tanpa campur tangan pemodal besar.
Keenam, menggunakan teknologi seperti pelaporan daring atau aplikasi untuk memantau dana kampanye dan aktivitas kandidat. Dan Mendorong kampanye berbasis media sosial atau platform digital yang lebih hemat biaya dibandingkan kampanye konvensional.
Editor : Redaksi Sulawesi Selatan