Makassar,DNID.co.id – Ketua Umum HMI Cabang Gowa Raya, Nawir Kalling, dalam tulisan opininya mengungkapkan ada empat hal yang menjadi sumber kekacauan dalam Pilkada 2024, Sabtu (16/11/2024).
Dalam opini yang berjudul “Sumber Kekacauan Pilkada Sebagai Refleksi Demokrasi” ini, ia mengatakan bahwa Pilkada serentak yang sebentar lagi memasuki masa tenang hanyalah formalitas belaka.
“Masa Tenang yang sebenarnya ideal, akan tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masa tenang justru akan dimanfaatkan sebagai momen krusial untuk memenangkan pertarungan bagi para kontestan pemilu,” tulisnya.
Menurutnya, ada beberapa sumber kekacauan Pilkada. Pertama, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Terkait netralitas ASN telah diatur sedemikian rupa di antaranya dalam pasal 2 UU Nomor 5 tahun 2014, PP Nomor 94 Tahun 2021, UU Nomor 5 Tahun 2014 dan UU Nomor 20 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun menurutnya fakta yang ditemukan di lapangan jauh berbeda. Masih banyak ASN yang melakukan pelanggaran, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dan ini pasti dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis.
“Semua bentuk ketidaknetralan ASN akan bergelak dari hulu ke hilir, dari struktur tertinggi hingga lapisan paling bawah. Misalnya, dari Bupati hingga ke RT/RW,” ungkapnya.
Kedua, netralitas TNI-Polri juga tidak luput dari perhatian. UU Nomor 34 Tahun 2004, UU Nomor 28 Tahun 2008, dan UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur bahwa TNI-Polri tidak boleh berpolitik praktis.
Namun Nawir Kalling, kita sering kali menyaksikan pelanggaran pada aturan yang ada.
“Netralitas yang sejatinya terjaga, acapkali dilanggar oleh oknum-oknum dari institusi TNI-POLRI. Di tangan oknum-oknum tersebut, intitusi TNI-POLRI dijadikan “tameng dan alat pukul kekuasaan” untuk mencapai kepentingan dan ambisi politis,”terangnya.
Ketiga, integritas penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu harus dipastikan bersikap netral. Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata bahwa masih banyak pelanggaran yang justru dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu.
“Oleh karena itu, penyelenggara dan pengawas pemilu juga harus tetap diawasi. Masyarakat punya hak partisipatif untuk mengawasi KPU dan Bawaslu di semua tingkatan dan wilayah kerja. Misalnya, KPU-Bawaslu Kabupaten/Kota sampai ke PTPS/Panwas Desa,” tulisnya.
Bukan hanya terkait netralitas, menurut pria lulusan strata satu Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar ini, biaya politik yang dibutuhkan kandidat tiap hari semakin tinggi. Dari mahalnya biaya politik, tentu para kandidat membutuhkan sumber yang juga cukup besar.
Inilah yang menurutnya dapat menjadi masalah sebab jangan sampai kepentingan dari sumber-sumber biaya politik tersebut menjadi priotitas Ketika kandidat terpilih, sehingga mengesampingkan kepentingan bersama di masyarakat.
“Belum lagi Ketika sponsor politik bersumber dari pengusaha yang memiliki persoalan khusus di perusahaannya. Bisa jadi, kesepakatan yang terbangun adalah kesepakatan yanga akan berfokus pada penyelamatan Perusahaan yang bermasalah, sehingga kebijakan yang akan muncul dikemudian hari adalah kebijakan yang sarat akan korupsi kolusi dan nepotisme,” ujarnya.
Sebagai penutup, Nawir Kaling menegaskan bahwa rakyat adalah bagian utama dari kedaulatan bangsa dan kedaulatan demokrasi. Kita harus menjaga keyakinan bahwa kedaulatan bangsa dan kedaulatan demokrasi akan tetap ada di tangan rakyat.
Penulis : Renaldy Pratama
Editor : Redaksi Sulawesi Selatan





























