Fenomena calon tunggal ini menarik perhatian, karena jika calon tunggal tersebut menang melawan kotak kosong, maka ia akan menjadi kepala daerah yang sah. Namun, jika kotak kosong menang, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 D ayat 3, Pilkada harus diulang. Pilkada ulang ini dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal lima tahun sekali. Dalam hal ini, masyarakat perlu diedukasi mengenai implikasi dari memilih kotak kosong. Kemenangan kotak kosong bisa menjadi simbol ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang ada, dan merupakan pesan bahwa mereka menginginkan calon alternatif yang lebih representatif.
Jika dalam Pilkada calon tunggal tidak memperoleh suara lebih dari 50% suara sah, maka sesuai aturan yang berlaku, pemerintah akan menugaskan penjabat gubernur, bupati, atau wali kota untuk menjalankan pemerintahan sementara. Hal ini diatur dalam peraturan yang menegaskan bahwa calon tunggal harus memperoleh lebih dari 50% suara sah untuk dinyatakan sebagai pemenang. Apabila kotak kosong dinyatakan menang, maka ada dua alternatif yang bisa diambil: pertama, mengadakan Pilkada ulang pada tahun berikutnya; kedua, mengikuti jadwal Pilkada yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu setiap lima tahun sekali sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2015.
Dalam konteks ini, penting bagi partai politik untuk lebih proaktif dalam mencari figur-figur potensial yang bisa menjadi alternatif calon kepala daerah. Partisipasi aktif dari masyarakat juga menjadi kunci dalam memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik dan menghindari dominasi calon tunggal.
Halaman Berita ini : 1 2 3 Baca Halaman Selanjutnya
Penulis : Mahmud Marhaba (Ketum DPP PJS)
Sumber Berita : DPP PJS