Makassar, Dnid.co.id – Triftong, atau membeli pakaian bekas, telah menjadi salah satu tren yang semakin populer di kalangan masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. Fenomena thrifting ini menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan generasi muda yang cenderung lebih sadar akan pentingnya konsumsi yang bertanggung jawab.
Berbagai alasan mendasari kecenderungan mahasiswa untuk memilih pakaian thrift. Beberapa di antaranya adalah faktor ekonomi, dimana harga pakaian baru sering kali dianggap terlalu mahal, sementara pakaian bekas menawarkan harga yang jauh lebih terjangkau. Banyak mahasiswa yang tertarik mencari barang-barang unik atau vintage, yang memberi mereka kesempatan untuk tampil beda di kampus.
Salah satu mahasiswi dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) Siti Khusnul Khotimah konsumen pakaian thrift mengatakan, pakaian thrift memiliki karakter dan keunikan yang tidak di temukan di produk massal.
“Saya tertarik berbelanja pakaian thrift karena kecil kemungkinan bakal ada kembarannya dan lebih bervariasi,” ungkapnya.
Namun, meskipun thrifting menawarkan berbagai keuntungan, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam mencari pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhan, Arizka Amaliah.M mahasiswi Universitas Negeri Makassar (UNM) mengungkapkan sulit menemukan pakaian thrift yang sesuai dengan ukuran dan selera yang ia inginkan.
“Bagi saya susah menemukan baju atau celana yang cocok dengan ukuran dan warna yang saya mau,” ungkapnya.
Faktor kualitas menjadi salah satu masalah utama. Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk jeli dalam memilih dan memeriksa kondisi pakaian sebelum membelinya, Nurul Iqlima mahasiswi Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) menuturkan, pakaian thrift merupakan pakaian bekas dan kualitas pakaiannya tidak seperti baru lagi.
“Seperti yang kita ketahui pakaian thrift itu merupakan pakaian bekas yang dimana kualitas dari produknya sudah tidak sama dengan produk baru, sudah ada noda kotoran, lecek dan lain sebagainya,” tuturnya.
Tren thrifting sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk adanya tren mode yang sering kembali ke gaya retro atau vintage. Selain itu, faktor keberlanjutan dan kesadaran lingkungan semakin memperkuat popularitas thrifting. Banyak mahasiswa yang melihat thrifting sebagai cara untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh industri Fashion cepat (fast fashion). Dengan membeli pakaian bekas, mereka turut mengurangi limbah tekstil dan menghindari konsumsi barang-barang yang diproduksi secara massal dan tidak ramah lingkungan.
Menanggapi hal tersebut salah satu guru Tata Busana SMK Negeri 6 Makassar Maya Indirawanto S.Pd.,M.Si., menuturkan bahwa kreativitas dalam merekonstruksi pakaian bekas ini patut diapresiasi, ia menilai thrifting tidak sepenuhnya recommended untuk konsumsi publik. Salah satu alasan utamanya adalah ketidakpastian terkait kesehatan dan kebersihan barang bekas yang diimpor dari luar negeri.
“Kita tidak tahu kesehatannya seperti apa, karena barang tersebut bukanlah produk yang diproduksi di dalam negeri dengan standar yang jelas,” ujar Maya.
Thrifting berpotensi menggerus pasar bagi produk fashion lokal, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergantung pada produksi pakaian dalam negeri.
“Baju thrifting memang lebih murah, kualitasnya lebih bagus, tapi ini akan mematikan usaha UMKM di Makassar,” jelasnya.
Penulis : Siti Salsabila ( Mahasiswa Jurnalistik 22 UINAM)
Editor : Redaksi Sulawesi Selatan