Bima, Dnid.co.id— Perlawanan sipil di Kabupaten Bima. BEM Universitas Muhammadiyah Bima, UKM Pustugi UM Bima, Paguyuban Himpel Laju, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) UM Bima secara resmi melayangkan surat permintaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) kepada Komisi I DPRD Kabupaten Bima.
Nabil sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bima menyampaikan Substansi surat itu bukan hal Mereka menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban atas tindakan Kapolres Kabupaten Bima yang menetapkan enam kader OKP Cipayung sebagai tersangka dan membawa mereka ke Polda NTB, pasca demonstrasi perjuangan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Pulau Sumbawa pada 28 Mei 2025.
“Demonstrasi itu adalah bagian dari gerakan rakyat. Gerakan yang sah, konstitusional, dan dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun, alih-alih dilindungi, para demonstran justru dipersekusi secara hukum” ungkap Nabil .

ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Nabil Penetapan status tersangka dan pemindahan ke tingkat Polda dalam waktu cepat memperlihatkan ada yang janggal: apakah ini upaya penegakan hukum yang profesional, atau justru bentuk pembungkaman terhadap suara kritis.
“Kapolres Kabupaten Bima tampaknya lebih memilih pendekatan koersif ketimbang komunikatif. Padahal, yang dihadapi adalah mahasiswa, pemuda, dan elemen masyarakat sipil yang membawa agenda perjuangan struktural: pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Bukan kriminal, bukan perusuh. Kriminalisasi terhadap enam kader Cipayung merupakan preseden buruk bagi ruang demokrasi di daerah ini”,lanjutnya .
Langkah BEM, UKM Pustugi, Paguyuban Himpel Laju dan LBH UM Bima layak diapresiasi. Mereka menunjukkan bahwa perlawanan intelektual bukan hanya terjadi di jalanan, tapi juga melalui mekanisme demokrasi—yakni memanggil DPRD untuk bertindak.
Komisi I DPRD Kabupaten Bima memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memfasilitasi forum ini dan menghadirkan Kapolres guna memberikan penjelasan terbuka.
DPRD tidak boleh membisu. Pembiaran terhadap kriminalisasi gerakan mahasiswa adalah bentuk kegagalan legislatif menjalankan fungsi pengawasan terhadap aparat penegak hukum. Jika Komisi I DPRD tidak segera menggelar RDP terbuka dan memanggil Kapolres, maka publik berhak menilai lembaga ini telah gagal menjadi pelindung demokrasi.
Lebih jauh, tindakan Kapolres harus diuji dalam forum publik: Apakah telah terjadi pelanggaran hukum acara? Apakah penetapan tersangka dilakukan dengan prosedur yang sah? Apakah Polda NTB dipakai untuk meredam resistensi lokal terhadap isu DOB? Bila ditemukan kejanggalan, tidak hanya pemanggilan yang perlu dilakukan—tapi desakan pencopotan.
“Kabupaten Bima tidak boleh kembali ke era otoritarianisme terselubung, di mana gerakan mahasiswa dianggap ancaman, bukan aspirasi. Rakyat, mahasiswa, dan DPRD harus berdiri di barisan yang sama: menolak intimidasi, melawan kriminalisasi, dan mempertahankan hak untuk bersuara” Tutup Nabil .
Penulis : Mukraidin
Editor : Redaksi NTB