Bone, Dnid.co.id – Kasus dugaan penyediaan “bilik asmara” di ruang tahanan Polres Bone memasuki babak baru. Seorang pengacara sekaligus anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI), AAF, menyatakan bahwa persoalan ini bukan sekadar kesalahan dua oknum anggota, melainkan juga menyangkut kelalaian struktural pimpinan.
Menurut AAF, pengakuan Kapolres Bone AKBP Sugeng Setio Budhi, S.IK., M.Tr.Opsla yang menegaskan tidak mengetahui praktik tersebut tidak serta-merta membebaskannya dari tanggung jawab.
“Kapolres bisa saja tidak tahu, tapi ketidaktahuan itu justru menandakan lemahnya pengawasan. Ini bukan kejadian pertama, pasti sudah berlangsung lama. Masyarakat butuh pemimpin yang tegas, terbuka, dan bisa dipercaya,” ujar AAF, Selasa (01/10/2025).

AAF menekankan, sebagai pimpinan tertinggi, Kapolres tetap memiliki tanggung jawab penuh terhadap perilaku bawahannya. Ia memaparkan beberapa poin penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komando: Pimpinan wajib mengendalikan, membina, dan mengawasi jajaran di bawahnya.
Pengawasan Internal: Kapolres membawahi Sipropam yang seharusnya aktif menindak pelanggaran disiplin.
Pembinaan Anggota: Pelanggaran bisa muncul akibat lemahnya penekanan kode etik dan integritas.
Citra Institusi: Kelalaian mengawasi bawahan akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Pertanggungjawaban Hukum: Jika pelanggaran merugikan masyarakat, institusi tetap bertanggung jawab secara hukum.
Menanggapi polemik soal rekaman suara yang disebut bukan milik anggota Polres Bone, AAF menegaskan bahwa rekaman tetap dapat menjadi petunjuk awal.
“Rekaman itu bisa membuka pintu penyelidikan lebih dalam. Meskipun dianggap lemah, penyidik tidak bisa serta-merta menghentikan proses hukum. Bukti permulaan tidak harus kuat, yang penting cukup untuk mendasari penyidikan,” jelasnya.
Ia menambahkan, rekaman tersebut bisa mengarahkan penyidik menemukan bukti lain, seperti keberadaan ruang khusus, keterangan saksi, atau dokumen pendukung.
AAF juga menyoroti isu bilik asmara secara lebih luas. Hingga kini, tidak ada regulasi resmi dari Kementerian Hukum dan HAM yang mengatur penyediaan fasilitas itu, baik di lapas maupun di tahanan Polres.
“Memang ada wacana soal pemenuhan kebutuhan seksual narapidana, tapi itu tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Jadi, jika ada fasilitas semacam itu di Polres, jelas tidak sah,” katanya.
Sebagai penutup, AAF mendesak Kapolres Bone untuk menangani kasus ini secara terbuka, transparan, dan adil.
“Kalau laporan ini tidak ditindaklanjuti, saya sebagai praktisi hukum siap melaporkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jangan sampai ada kesan kasus ini ditutup-tutupi,” pungkasnya.
Penulis : Ricky
Sumber Berita : Penelusuran dan konfirmasi