Mataram, 27 Oktober 2025 — Isak tangis korban banjir di Kecamatan Wera dan Ambalawi, Kabupaten Bima, masih terdengar di antara puing-puing rumah yang hanyut dan jalan yang terputus. Bencana alam yang melanda wilayah Kab Bima kawasan timur NTB tanggal 2 Pebruari 2025 itu menelan tujuh korban jiwa, merusak dua jembatan penghubung antar-kecamatan, serta memporak-porandakan ratusan rumah warga dan jaringan irigasi pertanian. Namun di tengah derita itu, muncul sorotan tajam terhadap Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terkait dugaan penyalahgunaan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) APBD 2025 sekitar Rp.500 Milyar yang seharusnya menjadi tumpuan bagi penanganan bencana.
PW SEMMI NTB menilai Gubernur NTB lalai dan secara sadar serta sengaja Tidak menggunakan BTT yang sudah tersedia di APBD NTB untuk memperhatikan korban bencana Banjir yang menderita akibat bencana banjir Wera sesuai perintah PP No.12/2019 dimana BTT wajib digunakan untuk keadaan darurat dan keadaan mendesak seperti bencana alam banjir. Padahal BTT tersebut sudah ada di kas daerah per tanggal 1 Januari 2025. Dan banjir Wera terjadi pada tanggal 2 Pebruari 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sangat ironis, ada banjir tapi tidak ditangani, malahan Gubernur NTB melakukan kebijakan di luar nalar dan akal sehat yakni melakukan pergeseran anggaran BTT APBD NTB Tahun 2025 pada bukan Maret 2025 melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 dan bulan Mei 2025 melalui Pergub Nomor 6 Tahun 2025 tanpa melalui Perubahan APBD bersama Banggar DPRD NTB.
Sangat tidak masuk akal Perda APBD 2025 dirubah dengan Peraturan Gubernur. Jelas ini melanggar PP 12/2019.
SEMMI NTB menilai bahwa kedua kebijakan itu telah memenuhi unsur dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun,” tegas pasal tersebut.
Pergub Diduga Terbit Tanpa Dasar Hukum yang Sah
Menurut PW SEMMI NTB, penerbitan Pergub Nomor 2 Tahun 2025 (13 Maret 2025) dan Pergub Nomor 6 Tahun 2025 (28 Mei 2025) dilakukan sebelum laporan realisasi semester pertama APBD 2025 disampaikan kepada DPRD, padahal laporan tersebut wajib diserahkan paling lambat akhir Juli tahun anggaran berjalan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 dan Pasal 161 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dengan demikian, kedua Pergub itu dinilai tidak memiliki dasar hukum administratif yang sah dan melanggar asas tertib anggaran serta prinsip pengawasan legislatif. Langkah tersebut juga disebut mencerminkan ketidakpatuhan terhadap mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.
“Jika dana hasil pengurangan BTT justru digunakan untuk kegiatan non-darurat, bersifat rutin, atau memiliki muatan politik tertentu, maka unsur penyalahgunaan kewenangan karena jabatan terpenuhi,” ungkap PW SEMMI NTB dalam pernyataan resminya.
Desakan ke Aparat Penegak Hukum
PW SEMMI NTB secara tegas mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB dan Kepolisian Daerah (Polda) NTB untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan kedua Pergub tersebut. Organisasi mahasiswa itu menilai bahwa diamnya aparat penegak hukum di tengah jeritan korban banjir merupakan bentuk pengabaian terhadap keadilan sosial dan moral publik.
“Pergub bukanlah alat kekuasaan untuk membelokkan APBD. Setiap rupiah uang rakyat harus dikelola dalam koridor hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik sesaat. Pergub yang melanggar PP dan UU tidak hanya cacat formil, tapi juga melanggar prinsip integritas keuangan negara. Kami mendesak penegak hukum agar tidak tutup mata,” tegas PW SEMMI NTB.
Jeritan dari Wera dan Ambalawi: Antara Derita dan Ketidakadilan
Di lokasi bencana, warga masih berjibaku memulihkan kehidupan mereka dengan bantuan seadanya. Banyak korban mengaku belum mendapat bantuan memadai dari pemerintah provinsi, padahal dana BTT seharusnya difokuskan untuk penanganan darurat bencana seperti yang terjadi di Wera–Ambalawi.
“Rumah saya hanyut, sawah tertimbun lumpur, dan kami belum dapat bantuan apa-apa. Kalau dana BTT malah dipakai untuk hal lain, itu sangat menyakitkan,” ujar salah satu warga Wera dengan nada getir.
Kondisi ini membuat publik semakin mempertanyakan komitmen moral dan integritas pejabat daerah dalam mengelola dana darurat yang bersumber dari uang rakyat. Bagi PW SEMMI NTB, pergeseran BTT di tengah bencana bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap nurani kemanusiaan.
PW SEMMI NTB menegaskan, bahwa jika dugaan penyalahgunaan ini terbukti, maka Kejati dan Kapolda NTB harus menindak tegas pihak-pihak yang terlibat, tanpa pandang jabatan, untuk memastikan supremasi hukum benar-benar ditegakkan di bumi Seribu Masjid.




























