Breaking News

Radio Player

Loading...

Mendekonstruksi Mitologi Orde Baru: Perspektif Ilmu Politik atas Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Senin, 3 November 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan administratif atau penghormatan atas jasa di masa lampau. Isu ini menyentuh ranah politik yang lebih dalam yakni bagaimana bangsa menafsirkan sejarah dan menentukan siapa yang layak menjadi simbol moral publik. Dalam perspektif ilmu politik, perdebatan semacam ini bukan sekadar tentang individu, melainkan tentang perebutan makna dan legitimasi dalam ingatan kolektif bangsa.

 

Memang benar, masa pemerintahan Soeharto diwarnai oleh kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang pesat. Namun, keberhasilan tersebut tidak dapat dilepaskan dari praktik politik yang memusatkan kekuasaan, membatasi kebebasan sipil, dan menyingkirkan kritik melalui mekanisme kontrol negara yang ketat. Dalam kerangka teori politik, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk hegemoni otoritarian, di mana narasi pembangunan digunakan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan sekaligus alat pembenaran terhadap pembatasan kebebasan.

ads

 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mitologi Pembangunan dan Politik Ingatan

 

Selama tiga dekade kekuasaannya, Orde Baru membentuk mitos “Bapak Pembangunan” yang melekat pada figur Soeharto. Melalui jalur pendidikan, media massa, dan birokrasi, citra tersebut ditanamkan secara sistematis sehingga membentuk persepsi publik bahwa stabilitas lebih penting daripada demokrasi.

 

Kini, ketika wacana pemberian gelar pahlawan kembali mencuat, mitos itu tampak dihidupkan ulang. Dari kacamata politics of memory, langkah ini bukan sekadar penghargaan historis, melainkan juga strategi simbolik untuk menata kembali memori publik dan merehabilitasi citra masa lalu. Dalam konteks ini, pemberian gelar pahlawan dapat dimaknai sebagai upaya meneguhkan kembali legitimasi politik yang pernah kehilangan dasar moralnya.

 

Rekonsiliasi yang Belum Tuntas

 

Sebagian pihak berargumen bahwa penghargaan ini merupakan bentuk rekonsiliasi nasional. Namun, rekonsiliasi tanpa pengakuan dan tanggung jawab sejarah hanya akan menjadi simbol tanpa substansi. Luka sosial akibat peristiwa 1965, pembungkaman kebebasan berpendapat, serta praktik korupsi sistemik belum sepenuhnya dihadapi secara terbuka.

 

Dalam teori legitimasi politik, rekonsiliasi yang sejati lahir dari akuntabilitas dan keberanian menghadapi masa lalu, bukan dari pelupaan kolektif. Menobatkan Soeharto sebagai pahlawan sebelum proses itu berlangsung sama saja dengan menormalkan pelanggaran masa lalu sebagai bagian dari kebesaran bangsa.

Demokrasi dan Tantangan Ingatan

Lebih dari dua puluh tahun setelah reformasi, demokrasi Indonesia menghadapi paradoks. Di satu sisi, kebebasan politik telah diperluas; di sisi lain, muncul nostalgia terhadap stabilitas Orde Baru. Dalam konteks krisis kepercayaan terhadap demokrasi, wacana penghargaan terhadap Soeharto dapat menjadi refleksi dari kemunduran kesadaran politik masyarakat.

Bangsa yang mudah memaafkan tanpa mengingat akan cenderung kehilangan daya kritis terhadap kekuasaan. Demokrasi tanpa ingatan berisiko melahirkan reproduksi kekuasaan lama dalam bentuk baru lebih halus, tetapi tidak kalah dominan.

Penutup: Antara Pahlawan dan Legitimasi Moral

Pahlawan, dalam arti politik, bukan sekadar tokoh yang memimpin atau membangun, melainkan figur yang menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan. Dalam ukuran tersebut, Soeharto belum memenuhi standar etika politik yang layak untuk disebut pahlawan.

 

Menolak pemberian gelar pahlawan bukan berarti menolak sejarah, tetapi menegaskan komitmen terhadap kejujuran dan tanggung jawab moral bangsa. Demokrasi yang matang hanya dapat tumbuh di atas keberanian menatap masa lalu secara jernih, bukan pada romantisme yang menutupi luka sejarah.

Penulis : Rahimun M. Said (Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNAS-Jakarta)

Editor : Redaksi NTB

Berita Terkait

Polda Metro Jaya Kerahkan 1.600 Personel Amankan Perayaan Natal 2025
Ketua Bidang PTKP HMI Badko Sulsel Dorong DPRD segera Gelar RDP Terkait Tata Kelola PT GMTD
Di Tangan Andi Asman, 4.411 Honorer Bone Raih Kepastian
PW SEMMI NTB Soroti Dugaan Pelanggaran Keimigrasian TKA China di Proyek Smelter PT. AMMANT Mineral Sumbawa.!!
Bersama Forkopimda, Kapolres Bantaeng Pantau Gereja Pada Malam Natal
UMK Makassar 2026 Resmi Rp4,14 Juta, Lebih Tinggi dari UMP Sulsel
Rumah Produktif Hati Damai Perkuat Ekonomi dan Ketahanan Pangan Warga Gowa
Pemkab Maros Berkontribusi Tanamkan Nilai-Nilai Bela Negara Melalui Kebijakan Pembangunan
Berita ini 25 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 25 Desember 2025 - 14:22 WITA

Polda Metro Jaya Kerahkan 1.600 Personel Amankan Perayaan Natal 2025

Kamis, 25 Desember 2025 - 13:02 WITA

Ketua Bidang PTKP HMI Badko Sulsel Dorong DPRD segera Gelar RDP Terkait Tata Kelola PT GMTD

Kamis, 25 Desember 2025 - 11:02 WITA

Di Tangan Andi Asman, 4.411 Honorer Bone Raih Kepastian

Kamis, 25 Desember 2025 - 00:12 WITA

PW SEMMI NTB Soroti Dugaan Pelanggaran Keimigrasian TKA China di Proyek Smelter PT. AMMANT Mineral Sumbawa.!!

Rabu, 24 Desember 2025 - 23:45 WITA

Bersama Forkopimda, Kapolres Bantaeng Pantau Gereja Pada Malam Natal

Rabu, 24 Desember 2025 - 19:39 WITA

UMK Makassar 2026 Resmi Rp4,14 Juta, Lebih Tinggi dari UMP Sulsel

Rabu, 24 Desember 2025 - 16:12 WITA

Rumah Produktif Hati Damai Perkuat Ekonomi dan Ketahanan Pangan Warga Gowa

Rabu, 24 Desember 2025 - 16:03 WITA

Pemkab Maros Berkontribusi Tanamkan Nilai-Nilai Bela Negara Melalui Kebijakan Pembangunan

Berita Terbaru

Kriminal Hukum

Curi Motor di Bulukumba, Polisi Ringkus Pelaku di Maros

Kamis, 25 Des 2025 - 23:57 WITA