Breaking News

Monasit dan Mimpi Thorium: Dari Puing Korupsi Timah Menuju Kedaulatan Energi Bersih Indonesia

Jumat, 19 Desember 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Oleh: Guid Cardi.                                Institut Pahlawan 12 Bangka & AIPI Bangka Belitung.

Babel – Di jantung kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, tersembunyi sebuah ironi yang mungkin menentukan masa depan energi kita. Sementara pemberitaan fokus pada kerugian negara Rp 300 triliun dari korupsi timah, ada harta karun lain yang terungkap: monasit, mineral tanah jarang yang mengandung thorium, senilai Rp 128-132 triliun (Kompas,2025). Inilah titik temu antara dosa masa lalu dan impian energi masa depan—sebuah paradoks yang menguji kemampuan bangsa kita belajar dari sejarah. Puing-puing kerusakan ekologis senilai Rp 271,5 triliun akibat korupsi timah, menyelipkan sebuah ironi yang bisa membawa secercah kecerahan masa depan energi Indonesia. Saat negara dirugikan hingga Rp 300 triliun, dari wilayah bekas tambang legal maupun ilegal justru terkuak potensi monasit, mineral tanah jarang serta thorium, senilai ratusan triliun rupiah. Inilah titik tolak narasi kita: sebuah paradoks antara dosa masa lalu yang kelam dan impian energi masa depan.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau “Babel” sedang Babak Belur tidak hanya menyimpan luka dengan ribuan kolong yang menganga tak bertuan tetapi juga menyimpan harapan. Belum sembuh dari luka yang menganga dan bernanah akibat korupsi ratusan triliyunan rupiah itu, kini serasa seperti terpercik setetes air cuka monazit—thorium yang mengandung sejumlah mimpi dan harapan. Monasit ibarat karakter bermuka dua dalam drama energi Indonesia. Di satu sisi, ia adalah bahan baku thorium—sumber energi potensial yang disebut-sebut ratusan kali lebih efisien daripada uranium. Di sisi lain, ia lahir dari rahim tata kelola yang sakit, di mana praktik korupsi sistematis telah menghancurkan lingkungan dan masa depan masyarakat.

ads

*Dua Sisi Monasit: Berkah atau Petaka?*

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Monasit ibarat karakter bermuka dua dalam drama energi Indonesia. Di satu sisi, ia membawa kabar gembira sebagai bahan baku thorium—sumber energi potensial yang disebut-sebut 200 kali lebih efisien daripada uranium. Di sisi lain, ia juga hadir di lokasi yang sama di mana praktik korupsi sistematis telah menghancurkan lingkungan dan merugikan negara hingga lebih dari 271 triliunan rupiah.

Yang lebih mencengangkan adalah kenyataan pahit yang terungkap dari data: sementara kerusakan lingkungan akibat korupsi timah mencapai Rp 271,5 triliun, dana jaminan reklamasi yang tersedia hanya Rp 204 miliar—atau hanya 0,07% dari total kerugian. Angka yang tak masuk akal ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem pengawasan kita. Lalu, bagaimana kita bisa mempercayai bahwa pengelolaan thorium—teknologi yang jauh lebih kompleks—akan berjalan dengan baik?

*Thorium: Energi Masa Depan yang Menanti Tata Kelola yang Beradab*

Thorium dalam desain Molten Salt Reactor (MSR) menawarkan janji yang sulit ditolak. Berbeda dengan reaktor nuklir konvensional, MSR menawarkan profil keselamatan yang intrinsik karena beroperasi pada tekanan rendah dengan bahan bakar cair. Teknologi ini tidak hanya menghasilkan limbah radioaktif yang lebih sedikit dan berumur pendek, tetapi juga secara fisik tidak dapat meleleh seperti reaktor uranium.

Pasar global reaktor thorium juga menunjukkan prospek cerah, diproyeksikan tumbuh dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) 10,1% dari USD 4,56 miliar pada 2025 menjadi USD 8,97 miliar pada 2032. China telah memulai langkah dengan membangun reaktor thorium percobaan di Gurun Gobi. India memiliki program jangka panjang pemanfaatan thorium. Indonesia? Kita masih terjebak dalam dilema: memiliki sumber daya tapi tak memiliki tata kelola yang kredibel.

Namun, teknologi secanggih apapun tak akan berarti tanpa tata kelola yang baik. Kasus korupsi timah mengajarkan kita bahwa masalahnya bukan pada teknologi, melainkan pada manusia dan sistem yang mengelolanya. Jaringan korupsi yang melibatkan pejabat BUMN, pengusaha, dan birokrat membuktikan bahwa tanpa transparansi dan akuntabilitas, kekayaan alam hanya akan menjadi kutukan.

*Belajar dari Sejarah Kelam untuk Masa Depan Cerah*

Pelajaran dari korupsi timah seharusnya menjadi panduan bagi pengembangan energi thorium. Pertama, transparansi mutlak diperlukan. Setiap tahap—dari eksplorasi, perizinan, hingga pengelolaan—harus terbuka untuk diawasi publik. Kedua, penguatan kelembagaan. Lembaga pengawas harus independen dan memiliki kapasitas memadai. Ketiga, partisipasi masyarakat lokal khususnya harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan.

Kita juga bisa belajar dari kasus Freeport di Papua. Pola pengelolaan yang tertutup dan tidak transparan pada masa awal operasi Freeport telah menciptakan distrust berkepanjangan yang dampaknya masih terasa hingga hari ini. Pola hubungan yang diwarnai konflik, keterpinggiran masyarakat lokal, dan ketimpangan manfaat harus menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan industri thorium.

Masyarakat Bangka Belitung sudah menerima kerugian lebih dari dua ratus tujuh pulu satu triliyun rupiah nilai kerusakan lingkungannya, sementara puluhan triliyunan hasil tambang timah dinikmati oleh segelintir orang yang tergabung dalam oligarki swasta, BUMN PT. Timah, individu-indvidu, dan para pejabat birokrat Pemprov Bangka Belitung.

Disisi lainya, angka putus sekolah di Babel mencapai 3,5%, hampir tiga kali lipat rata-rata nasional yang berkisar 1,2% (Data Kemendikbud, 2023, dikutip Antara Babel, 2024). Konsekuensinya, Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi di Babel juga menjadi terendah di Indonesia, yakni 15,23% (BPS, 2023, dikutip Antara Babel, 2024), hal ini menciptakan lingkaran kemiskinan dan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas rendah di masa depan.

Jika triliyunan atau ratusan milyar dana CSR tambang timah yang dikelola oleh terpidana mega korupsi itu diberikan dalam bentuk beasiswa pendidikan baik untuk para mahasiswa dan pelajar Bangka Belitung ,Kita membayangkan dan berharap SDM Bangka Belitung yang begitu hebat. Demikian halnya jika ratusan triliyunan keuntungan dari pengelolaan thorium itu juga dilakukan hal serupa untuk masyarakat Bangka Belitung, apa lagi jika sebagian kecil dari potensi 500 MW listrik yang dihasilkan diberikan kepada masyarakat Bangka Belitung dalam bentuk listrik gratis atau subsisi listrik, tentu masyarakat Bangka Belitung akan berpikir panjang untuk menolak kehadiran entitas bisnis yang dipercaya untuk mengelola pemanfaatan thorium tersebut.

*Dimensi Geopolitik dan Tantangan Global*

Pengembangan energi nuklir, termasuk thorium, tidak dapat dilepaskan dari dimensi geopolitik. Kasus Iran memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas pengembangan nuklir di kancah global. Kepatuhan terhadap rezim pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA) bukan hanya kewajiban, tetapi juga kebutuhan untuk membangun kepercayaan internasional.

Indonesia memiliki posisi yang baik untuk mengembangkan thorium dengan tetap mematuhi sepenuhnya kewajiban non-proliferasinya. Kepatuhan ini justru akan menjadi penguat kredibilitas yang memfasilitasi transfer teknologi, investasi, dan penerimaan publik. Inisiatif IAEA seperti Nuclear Harmonization and Standardization Initiative (NHSI) bertujuan mempercepat penyerapan reaktor maju, termasuk MSR, melalui pendekatan regulasi yang selaras.

Meski disatu sisi PT. Thorcon Power Indonesia sebagai bagian dari entitas Thorcon Internasional di Amerika Serikat merupakan pembuka pintu bagi persetujuan internasional (baca IAEA dan Amerika Serikat) untuk pembangunan dan pemanfaatan Nuklir yang cukup melimpah di Bumi Indonesia, akan tetapi jangan sampai mengulang lagi hal yang sama saat Kedatangan PT. Freeport pada masa Orde Baru yang disambut dengan sepenuh rasa riang gembira demi masuknya investasi modal dan teknologi dengan dalih untuk pembangunan, Indonesia rela menerima kertas kosong untuk ditandatangani.

*Jalan Tengah: Antara Antusiasme dan Kewaspadaan*

Kita tidak perlu antipati terhadap teknologi nuklir baru, namun juga tidak boleh terjebak dalam euphoria buta. Pengembangan industri thorium harus ditempuh dengan pendekatan prudent dan berkelanjutan.Beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain reformasi sistem jaminan lingkungan yang menutup celah korupsi, penguatan instrumen lingkungan yang realistis dengan biaya sebenarnya, pembangunan kapasitas SDM yang berintegritas dan kompeten, serta mekanisme pengawasan multipihak yang melibatkan akademisi, LSM, dan masyarakat.

kenyataan pahit yang terungkap dari data: sementara kerusakan lingkungan akibat korupsi timah mencapai Rp 271,5 triliun, dana jaminan reklamasi yang tersedia hanya Rp 204 miliar(Timelines. 7/11)—atau hanya 0,07% dari total kerugian. Angka yang tak masuk akal ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem pengawasan kita. Lalu, bagaimana kita bisa mempercayai bahwa pengelolaan thorium—teknologi yang jauh lebih kompleks—akan berjalan dengan baik?

PT Thorcon Power Indonesia, yang sudah mendapatkan persetujuan dari BAPETEN untuk Rencana Evaluasi Lokasi di Pulau Kelasa, Bangka Tengah, harus menjadi contoh terbaik tata kelola sumber daya alam khususnya energi nuklir. Komitmen mereka terhadap alih teknologi dan peningkatan komponen lokal harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

*Menuju Kedaulatan Energi yang Berkelanjutan*

Monasit di Bangka Belitung bagai cermin: memantulkan kedua wajah kita—masa lalu kelam korupsi dan masa depan cerah energi bersih. Pilihan ada di tangan kita: apakah thorium akan menjadi berkah atau sekuel lain dari “kutukan sumber daya”?

Sebagai penutup, mengutip pelajaran dari kasus timah: teknologi secanggih apapun tak akan mampu membersihkan noda korupsi. Sebelum berbicara tentang reaktor thorium yang canggih, mari kita perbaiki dulu “reaktor tata kelola” yang menjadi jantung dari setiap pembangunan berkelanjutan.

Masa depan energi bersih Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi oleh integritas sistem yang mengelolanya. Thorium mungkin adalah jawaban untuk masa depan energi, tetapi tata kelola yang baik adalah prasyarat untuk segala jenis masa depan yang ingin kita capai. Di puing-puing korupsi timah, mari kita bangun fondasi baru yang lebih kuat, transparan, dan berkelanjutan untuk kedaulatan energi Indonesia.

Sumber Berita : KBO BABEL

Berita Terkait

Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
Perubahan Penting KUHAP 2025: Penguatan Hak Advokat sebagai Pilar Keadilan
Penetapan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Momentum Rekonsiliasi Kebangsaan
Prof. Budu dan Babak Kedua Pilrek Unhas
Mentan Amran Memupus Mimpi Ekonom Pro-Mafia Pangan Seperti Defiyan Cori
Ketika Kepintaran Rakyat Menjadi Ancaman.
Menambang Bencana di Perut Latimojong
Beranda 100 Hari Kerja JKA-RH yang Bermakna: Mampukah Kita Mengimbangi “Speed” Kencang Seorang JKA?
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:03 WITA

Monasit dan Mimpi Thorium: Dari Puing Korupsi Timah Menuju Kedaulatan Energi Bersih Indonesia

Rabu, 17 Desember 2025 - 03:11 WITA

Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia

Jumat, 21 November 2025 - 13:52 WITA

Perubahan Penting KUHAP 2025: Penguatan Hak Advokat sebagai Pilar Keadilan

Senin, 17 November 2025 - 03:50 WITA

Penetapan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Momentum Rekonsiliasi Kebangsaan

Minggu, 2 November 2025 - 20:09 WITA

Prof. Budu dan Babak Kedua Pilrek Unhas

Sabtu, 1 November 2025 - 00:57 WITA

Mentan Amran Memupus Mimpi Ekonom Pro-Mafia Pangan Seperti Defiyan Cori

Sabtu, 1 November 2025 - 00:47 WITA

Ketika Kepintaran Rakyat Menjadi Ancaman.

Rabu, 24 September 2025 - 14:55 WITA

Menambang Bencana di Perut Latimojong

Berita Terbaru

Keagamaan

Aliansi R4 Kota Makassar Gelar Baksos di Panti Asuhan Al Muhaimin

Jumat, 19 Des 2025 - 01:43 WITA