Breaking News

Radio Player

Loading...

Ketika Ayah Mengambil Rapor

Senin, 22 Desember 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Oleh : Syafaat (ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi)


Jika tidak ada kesibukan yang benar-benar mendesak, saya selalu mengambil rapor anak-anak saya sendiri. Entah sejak kapan keyakinan kecil itu tumbuh: bahwa ada energi tertentu ketika seorang ayah hadir di ambang pintu kelas, menunggu buku catatan yang berisi angka-angka, catatan, dan diam-diam juga doa-doa. Anak saya selalu ingin bapaknya yang datang. Bukan ibunya. Bukan siapa pun yang lain. Seolah rapor bukan sekadar laporan belajar, melainkan pengakuan: “Aku ingin kau tahu siapa aku hari ini, Ayah.”

Rapuhnya kehadiran ayah dalam kehidupan banyak anak adalah kenyataan yang pelan-pelan kita terima sebagai kewajaran. Ayah sering hadir hanya sebagai nama di kartu keluarga, sebagai bayang-bayang yang berangkat pagi dan pulang malam, atau sebagai suara lelah yang tersisa di ujung doa. Maka ketika negara mengeluarkan edaran tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR), hati saya terbelah di antara rasa setuju dan kegelisahan yang lirih.

ads

Saya setuju, sebab terlalu lama ayah direduksi menjadi sosok yang diwakilkan. Diwakilkan oleh ibu yang setia menunggu di teras sekolah, berbagi cerita kecil sambil menahan cemas dan harap. Diwakilkan oleh keadaan yang memaksa manusia memilih antara waktu dan perut. Diwakilkan oleh dalih bekerja yang kerap kita sucikan, seolah ia selalu bernilai ibadah. Padahal tidak semua yang bernama kerja adalah ibadah, jika di dalamnya kehadiran sebagai ayah dikorbankan, dan kasih ditangguhkan atas nama tanggung jawab.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Data tentang fatherless bukanlah sekadar angka dingin dalam laporan kementerian. Ia adalah luka sunyi yang tumbuh perlahan di kamar anak-anak kita. Luka karena jarang dipeluk tanpa alasan. Luka karena jarang didengar tanpa tergesa. Luka karena ayah lebih sering hadir sebagai kewajiban ekonomi daripada sebagai teladan kasih. Di sanalah anak-anak belajar mencintai dalam jarak, merindu dalam diam, dan memahami figur ayah sebagai sesuatu yang penting namun jauh.

Agama mengajarkan bahwa rezeki bukan hanya apa yang dibawa pulang, melainkan juga apa yang ditinggalkan di hati. Seorang ayah tidak diukur semata dari keringatnya, tetapi dari jejak kehadirannya dalam ingatan anak. Sebab kelak, ketika anak-anak itu dewasa, mereka mungkin lupa berapa angka di rapornya, tetapi tidak akan lupa apakah ayahnya pernah benar-benar ada.

Namun di situlah kegelisahan bermula. Hidup tidak selalu sesederhana surat edaran, kenyataan sering lebih berliku daripada redaksi kebijakan. Ada ayah yang ingin hadir, tetapi tertahan oleh nasib. Ada ayah yang mencintai anaknya sepenuh hati, namun terpaksa memilih antara datang ke sekolah atau pulang membawa beras.

Ada ayah yang absen bukan karena tak peduli, melainkan karena hidup menuntutnya berjaga di garis paling keras dari perjuangan. Agama mengajarkan kita bahwa Allah tidak menilai niat dari seragam kebijakan, melainkan dari getar hati dan ikhtiar yang jujur. Kehadiran ayah memang penting, tetapi memaksakannya tanpa memahami kerumitan hidup justru berisiko melahirkan luka baru. Rapor seharusnya menjadi pintu dialog, bukan palu penghakiman. Menjadi undangan kasih, bukan beban rasa bersalah.

Maka mungkin yang kita perlukan bukan hanya gerakan ayah menuju sekolah, melainkan juga gerakan empati menuju realitas. Agar kebijakan tidak berdiri sebagai menara perintah, tetapi sebagai sajadah panjang tempat ayah, ibu, dan anak bersimpuh bersama, membicarakan masa depan dengan cinta, bukan dengan keterpaksaan. Saya teringat seorang kawan, seorang guru, sekaligus wali kelas. Setiap pembagian rapor, ia justru sibuk membagikan rapor anak-anak orang lain. Maka rapor anaknya sendiri sering ia titipkan pada saya. Bukan karena tak peduli, melainkan karena tanggung jawabnya sedang berlipat. Dalam situasi seperti itu, apakah ayah yang baik harus memilih satu peran dan menanggalkan yang lain?

Lebih rumit lagi ketika keluarga tidak lagi utuh. Anak tinggal bersama ibu. Ayah kandung dan ayah tiri hidup dalam ketegangan yang tak pernah benar-benar sembuh. Jika dipaksa ayah kandung yang mengambil rapor, bisa jadi itu melukai rumah yang sedang dibangun. Jika ayah tiri yang datang, apakah ia dianggap melanggar garis darah? Rapor, yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi, justru bisa berubah menjadi bara kecil dalam sekam relasi. Ada pula ayah yang hidup dari upah harian. Buruh lepas. Jika ia absen bekerja sehari, dapur ikut absen mengepul.

Dalam logika negara, kehadiran ayah di sekolah adalah investasi jangka panjang. Tetapi dalam logika perut, hari ini juga harus hidup. Apakah iman kepada masa depan boleh mengorbankan makan siang hari ini?

Saya percaya niat GEMAR adalah baik. Sangat baik. Ayah memang kepala keluarga, dan kepala seharusnya tidak terpisah dari tubuh. Tetapi jangan lupa: ibu adalah madrasah pertama. Ia juga berhak tahu bagaimana anaknya tumbuh di luar rumah. Pendidikan bukan amanah satu pundak, melainkan dua pundak yang saling menopang. Mungkin yang paling adil bukanlah “ayah saja”, melainkan ayah bersama ibu. Duduk berdua di hadapan wali kelas. Mendengar dengan telinga yang terbuka dan hati yang rendah.

Membicarakan kekurangan anak tanpa saling menyalahkan. Membicarakan kelebihannya tanpa berlebihan. Karena pada akhirnya, rapor bukan tentang siapa yang datang ke sekolah, tetapi siapa yang pulang membawa tanggung jawab.

Ayah bukan sekadar pencari nafkah yang pulang membawa lelah, dan ibu bukan semata pengasuh yang setia menjaga rumah. Keduanya adalah penjaga amanah, dua tangan yang dititipi satu kehidupan. Amanah itu tidak pernah mengenal dispensasi ego, tidak tunduk pada pembagian peran yang kaku, apalagi pada dalih bahwa kedekatan emosional adalah wilayah ibu semata. Dekat dengan anak bukan hak eksklusif seorang ibu, sebagaimana tanggung jawab tidak pernah hanya bertumpu pada satu pundak. Jika negara sungguh ingin menumbuhkan generasi yang utuh, yang akalnya terang dan jiwanya teduh, barangkali yang perlu digerakkan bukan hanya langkah ayah menuju sekolah, melainkan kesadaran yang lebih dalam: bahwa mendidik anak adalah ibadah kolektif dalam keluarga. Ibadah yang tidak selalu berwujud kehadiran fisik, tetapi selalu menuntut kehadiran hati. Ibadah yang tidak cukup dengan tanda tangan di rapor, tetapi meniscayakan dialog, pelukan, dan doa yang disisipkan diam-diam di sela kesibukan.

Rapor pada akhirnya hanyalah kertas. Ia bisa lusuh, bisa hilang, bisa dilupakan. Namun cara kita menyikapinya akan menjelma teks panjang yang kelak dibaca anak-anak kita ketika mereka tumbuh dewasa, saat mereka belajar tentang makna cinta yang tidak diwakilkan, tentang tanggung jawab yang tidak dilimpahkan, tentang kehadiran yang tidak bersyarat. Dan semoga, di antara angka-angka yang tercetak rapi itu, mereka menemukan satu hal yang tak tertulis namun paling menentukan: bahwa ayah dan ibu mereka benar-benar ada. Bukan sekadar ada dalam struktur keluarga, tetapi hadir dalam hidup, mendengar, menemani, dan berjalan bersama, dari bangku sekolah hingga perjalanan panjang menjadi manusia seutuhnya.

Editor : Kingzhie

Berita Terkait

Rehabilitasi dan Penghijauan Hutan Gowa: Kepemimpinan Hijau dan Tanggung Jawab Kolektif Pemuda
Monasit dan Mimpi Thorium: Dari Puing Korupsi Timah Menuju Kedaulatan Energi Bersih Indonesia
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
Perubahan Penting KUHAP 2025: Penguatan Hak Advokat sebagai Pilar Keadilan
Penetapan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Momentum Rekonsiliasi Kebangsaan
Prof. Budu dan Babak Kedua Pilrek Unhas
Mentan Amran Memupus Mimpi Ekonom Pro-Mafia Pangan Seperti Defiyan Cori
Ketika Kepintaran Rakyat Menjadi Ancaman.
Berita ini 33 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 24 Desember 2025 - 19:29 WITA

Rehabilitasi dan Penghijauan Hutan Gowa: Kepemimpinan Hijau dan Tanggung Jawab Kolektif Pemuda

Senin, 22 Desember 2025 - 11:46 WITA

Ketika Ayah Mengambil Rapor

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:03 WITA

Monasit dan Mimpi Thorium: Dari Puing Korupsi Timah Menuju Kedaulatan Energi Bersih Indonesia

Rabu, 17 Desember 2025 - 03:11 WITA

Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia

Jumat, 21 November 2025 - 13:52 WITA

Perubahan Penting KUHAP 2025: Penguatan Hak Advokat sebagai Pilar Keadilan

Senin, 17 November 2025 - 03:50 WITA

Penetapan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Momentum Rekonsiliasi Kebangsaan

Minggu, 2 November 2025 - 20:09 WITA

Prof. Budu dan Babak Kedua Pilrek Unhas

Sabtu, 1 November 2025 - 00:57 WITA

Mentan Amran Memupus Mimpi Ekonom Pro-Mafia Pangan Seperti Defiyan Cori

Berita Terbaru

Kriminal Hukum

Curi Motor di Bulukumba, Polisi Ringkus Pelaku di Maros

Kamis, 25 Des 2025 - 23:57 WITA