Breaking News

Radio Player

Loading...

Mengulang Sejarah yang Gagal: Catatan Kritis Akhir Tahun 2025 atas Wacana Pengembalian Pilkada oleh DPRD

Rabu, 31 Desember 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Menutup tahun 2025, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali diajukan seolah sebagai solusi rasional atas problem demokrasi lokal. Dalihnya terdengar teknokratis, efisiensi anggaran, stabilitas politik, dan pengendalian konflik. Namun dalam perspektif historis dan demokrasi konstitusional, wacana ini justru mencerminkan kegagalan elite membaca akar masalah sekaligus ketidakpercayaan struktural terhadap kedaulatan rakyat.

Indonesia tidak sedang berdebat di ruang hampa. Negara ini memiliki pengalaman konkret ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD hingga 2004. Fakta historis menunjukkan bahwa mekanisme tersebut bukan hanya sarat politik transaksional, tetapi juga melahirkan kepemimpinan yang lebih tunduk pada kepentingan fraksi ketimbang kepentingan publik. Politik uang tidak hilang ia hanya berpindah dari ruang terbuka ke ruang tertutup, dari massa pemilih ke segelintir elite penentu suara.

Pilkada langsung pasca 2005 memang menghadirkan problem serius, biaya tinggi, polarisasi, dan konflik sosial. Namun menjadikan problem tersebut sebagai legitimasi untuk mencabut hak pilih rakyat adalah kekeliruan logis dan politis. Dalam teori demokrasi, cacat prosedural tidak diselesaikan dengan eliminasi partisipasi, melainkan dengan penguatan institusi, penegakan hukum, dan kontrol publik. Menghapus pilkada langsung sama artinya dengan mengobati demam dengan mematikan termometer.

ads

Pengembalian pilkada ke DPRD justru berpotensi memperdalam krisis akuntabilitas. Kepala daerah yang lahir dari proses elitistik akan lebih bertanggung jawab kepada partai dan fraksi, bukan kepada warga. Orientasi kebijakan pun bergeser, dari pelayanan publik ke kompromi politik, dari kepentingan rakyat ke konsolidasi kekuasaan. Dalam kondisi ini, efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan berisiko menjadi ilusi, karena biaya demokrasi yang ditekan di muka akan dibayar mahal dalam bentuk korupsi kebijakan dan delegitimasi pemerintahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih mengkhawatirkan lagi, wacana ini memperlihatkan gejala kemunduran demokrasi yang halus namun sistematis. Ketika elite mulai menganggap rakyat sebagai sumber masalah bukan sebagai subjek kedaulatan maka demokrasi direduksi menjadi prosedur administratif, bukan nilai. Demokrasi dianggap baik hanya sejauh tidak mengganggu kenyamanan kekuasaan. Ini bukan sekadar persoalan teknis pilkada, melainkan soal arah etika politik bangsa.

Jika problem utama pilkada adalah politik uang, maka pertanyaannya bukan mengapa rakyat harus dicabut haknya, melainkan mengapa negara gagal menegakkan hukum. Jika biaya politik terlalu mahal, maka yang perlu dibenahi adalah sistem pendanaan partai dan transparansi kampanye, bukan mekanisme pemilihan. Mengembalikan pilkada ke DPRD tanpa pembenahan struktural justru membuka ruang lebih luas bagi oligarki lokal yang selama ini menjadi penyakit laten demokrasi daerah.

Menutup 2025, publik berhak mengajukan pertanyaan mendasar, apakah reformasi masih dipahami sebagai mandat sejarah, atau sekadar episode yang bisa dibatalkan ketika dianggap merepotkan? Mengulang sistem yang telah terbukti bermasalah bukanlah langkah korektif, melainkan regresi politik yang dibungkus bahasa rasional.

Demokrasi lokal memang tidak sempurna, tetapi solusinya bukan mundur ke masa lalu. Solusinya adalah keberanian politik untuk memperkuat pengawasan, menindak politik uang tanpa pandang bulu, dan mengembalikan makna kedaulatan kepada pemiliknya yang sah: rakyat. Tanpa itu, wacana pilkada oleh DPRD hanyalah tanda bahwa sebagian elite lebih nyaman bernegosiasi di ruang tertutup daripada diuji di hadapan publik.

Simpan Gambar:

Penulis : Rahimun M. Said (Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNAS-Jakarta)

Editor : Redaksi NTB

Berita Terkait

Perkuat Tata Kelola Pemerintahan, Bupati Gowa Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama
Pemkab Maros Siapkan Rp48 Miliar Gaji PPPK Paruh Waktu
Sidang Akhir SIP Angkatan 55 dan 56, Panda Polda Sulteng Tetapkan 62 Peserta Lulus Terpilih
8 Personel BOZ Lulus Terpilih Seleksi SIP Angkatan 55 dan 56 Panda Polda Sulteng
Kapolres Poso Pimpin Upacara Korps Raport Kenaikan Pangkat Periode 1 Januari 2025
1.036 Personel Naik Pangkat, Kapolda Sulteng Tekankan Tanggung Jawab dan Dedikasi
Pemkot Makassar Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana Hidrometeorologi di Sumatera Barat
JATAM  Maros Siap Membentuk Brigade Pangan untuk Peningkatan Produktivitas dan Kemandirian Petani Maka
Berita ini 23 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 31 Desember 2025 - 19:58 WITA

Mengulang Sejarah yang Gagal: Catatan Kritis Akhir Tahun 2025 atas Wacana Pengembalian Pilkada oleh DPRD

Rabu, 31 Desember 2025 - 17:42 WITA

Perkuat Tata Kelola Pemerintahan, Bupati Gowa Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama

Rabu, 31 Desember 2025 - 17:24 WITA

Pemkab Maros Siapkan Rp48 Miliar Gaji PPPK Paruh Waktu

Rabu, 31 Desember 2025 - 17:02 WITA

Sidang Akhir SIP Angkatan 55 dan 56, Panda Polda Sulteng Tetapkan 62 Peserta Lulus Terpilih

Rabu, 31 Desember 2025 - 16:56 WITA

8 Personel BOZ Lulus Terpilih Seleksi SIP Angkatan 55 dan 56 Panda Polda Sulteng

Rabu, 31 Desember 2025 - 16:49 WITA

Kapolres Poso Pimpin Upacara Korps Raport Kenaikan Pangkat Periode 1 Januari 2025

Rabu, 31 Desember 2025 - 16:28 WITA

1.036 Personel Naik Pangkat, Kapolda Sulteng Tekankan Tanggung Jawab dan Dedikasi

Rabu, 31 Desember 2025 - 13:18 WITA

Pemkot Makassar Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana Hidrometeorologi di Sumatera Barat

Berita Terbaru

Serba-Serbi

Pemkab Maros Siapkan Rp48 Miliar Gaji PPPK Paruh Waktu

Rabu, 31 Des 2025 - 17:24 WITA