Menutup tahun 2025, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali diajukan seolah sebagai solusi rasional atas problem demokrasi lokal. Dalihnya terdengar teknokratis, efisiensi anggaran, stabilitas politik, dan pengendalian konflik. Namun dalam perspektif historis dan demokrasi konstitusional, wacana ini justru mencerminkan kegagalan elite membaca akar masalah sekaligus ketidakpercayaan struktural terhadap kedaulatan rakyat.
Indonesia tidak sedang berdebat di ruang hampa. Negara ini memiliki pengalaman konkret ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD hingga 2004. Fakta historis menunjukkan bahwa mekanisme tersebut bukan hanya sarat politik transaksional, tetapi juga melahirkan kepemimpinan yang lebih tunduk pada kepentingan fraksi ketimbang kepentingan publik. Politik uang tidak hilang ia hanya berpindah dari ruang terbuka ke ruang tertutup, dari massa pemilih ke segelintir elite penentu suara.
Pilkada langsung pasca 2005 memang menghadirkan problem serius, biaya tinggi, polarisasi, dan konflik sosial. Namun menjadikan problem tersebut sebagai legitimasi untuk mencabut hak pilih rakyat adalah kekeliruan logis dan politis. Dalam teori demokrasi, cacat prosedural tidak diselesaikan dengan eliminasi partisipasi, melainkan dengan penguatan institusi, penegakan hukum, dan kontrol publik. Menghapus pilkada langsung sama artinya dengan mengobati demam dengan mematikan termometer.
Pengembalian pilkada ke DPRD justru berpotensi memperdalam krisis akuntabilitas. Kepala daerah yang lahir dari proses elitistik akan lebih bertanggung jawab kepada partai dan fraksi, bukan kepada warga. Orientasi kebijakan pun bergeser, dari pelayanan publik ke kompromi politik, dari kepentingan rakyat ke konsolidasi kekuasaan. Dalam kondisi ini, efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan berisiko menjadi ilusi, karena biaya demokrasi yang ditekan di muka akan dibayar mahal dalam bentuk korupsi kebijakan dan delegitimasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih mengkhawatirkan lagi, wacana ini memperlihatkan gejala kemunduran demokrasi yang halus namun sistematis. Ketika elite mulai menganggap rakyat sebagai sumber masalah bukan sebagai subjek kedaulatan maka demokrasi direduksi menjadi prosedur administratif, bukan nilai. Demokrasi dianggap baik hanya sejauh tidak mengganggu kenyamanan kekuasaan. Ini bukan sekadar persoalan teknis pilkada, melainkan soal arah etika politik bangsa.
Jika problem utama pilkada adalah politik uang, maka pertanyaannya bukan mengapa rakyat harus dicabut haknya, melainkan mengapa negara gagal menegakkan hukum. Jika biaya politik terlalu mahal, maka yang perlu dibenahi adalah sistem pendanaan partai dan transparansi kampanye, bukan mekanisme pemilihan. Mengembalikan pilkada ke DPRD tanpa pembenahan struktural justru membuka ruang lebih luas bagi oligarki lokal yang selama ini menjadi penyakit laten demokrasi daerah.
Menutup 2025, publik berhak mengajukan pertanyaan mendasar, apakah reformasi masih dipahami sebagai mandat sejarah, atau sekadar episode yang bisa dibatalkan ketika dianggap merepotkan? Mengulang sistem yang telah terbukti bermasalah bukanlah langkah korektif, melainkan regresi politik yang dibungkus bahasa rasional.
Demokrasi lokal memang tidak sempurna, tetapi solusinya bukan mundur ke masa lalu. Solusinya adalah keberanian politik untuk memperkuat pengawasan, menindak politik uang tanpa pandang bulu, dan mengembalikan makna kedaulatan kepada pemiliknya yang sah: rakyat. Tanpa itu, wacana pilkada oleh DPRD hanyalah tanda bahwa sebagian elite lebih nyaman bernegosiasi di ruang tertutup daripada diuji di hadapan publik.
Penulis : Rahimun M. Said (Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNAS-Jakarta)
Editor : Redaksi NTB





























