BONE, DNID.co.id – Sepanjang Januari hingga April 2025, Kabupaten Bone berhasil mencetak produksi gabah kering giling tertinggi di provinsi Sulsel, melampaui Kabupaten Sidrap yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi utama.
Namun perubahan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) melalui Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025, yang menghapus syarat kadar air dan kadar hampa pada gabah kering panen (GKP), memicu tren panen dini di sejumlah daerah.

ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa lagi mempertimbangkan kualitas, petani tergiur jaminan harga Rp6.500/kg. Banyak yang memanen lebih cepat, bahkan saat bulir padi belum terisi sempurna.
“Petani memanen saat padi masih hijau. Ini membuat kualitas gabah rendah dan bisa menurunkan mutu beras nasional,” kata pengamat pertanian, Zulkifli, Kamis (08/05/2025).
Zulkifli juga menyoroti minimnya peran penyuluh pertanian di tengah perubahan kebijakan ini di banyak daerah
Petani mengaku belum mendapat edukasi soal risiko panen dini.
“Banyak penyuluh tidak aktif turun ke lapangan, padahal mereka sudah difasilitasi kendaraan roda dua dari Dinas Pertanian. Seharusnya mereka memberi pendampingan dan informasi teknis ke petani,” tegasnya.
Kekhawatiran meningkat bahwa jika tren ini terus berlanjut, kualitas beras nasional akan terdegradasi dan produktivitas jangka panjang terancam.
” Padahal, dalam situasi perubahan regulasi seperti ini, peran penyuluh menjadi sangat vital untuk menjaga praktik budidaya yang tetap produktif dan berkelanjutan, ” Ucapnya.
Lulusan IPB ini menjelaskan, peran penyuluh sangat krusial saat terjadi perubahan regulasi. “Penyuluh harus menjadi jembatan informasi. Panen dini itu merugikan petani dalam jangka panjang, meski terlihat menguntungkan di awal.” Sebutnya.
Sementara itu, beberapa petani mengakui panen lebih awal karena faktor kesempatan dan kekhawatiran harga turun.
“Saya ikut panen karena ada mesin combine yang beroperasi di sekitar sawah saya. Lagipula, selama harganya masih Rp6.500/kg, kami pilih aman, apalagi cuaca tak menentu,” ujar Kadir, petani asal salah satu kecamatan di Kabupaten Bone.
Ketidak tahuan terkait hal itu juga diungkapkan salah satu petani atas nama Laggi, “Saya tidak tahu kalau panen sebelum waktunya bisa mengurangi hasil. Katanya harganya sama saja, jadi saya panen saja cepat-cepat,” Sebutnya.
Fenomena ini menjadi alarm penting bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan disertai edukasi yang memadai, agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap mutu dan keberlanjutan produksi pangan nasional.
Sementara Perum Bulog Cabang Bone menyatakan bahwa pihaknya telah mulai menyerap gabah petani termasuk yang masih dalam kondisi hijau, merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2025 dan Surat Edaran Bappenas No. 14 Tahun 2025.
Namun, Bulog mengakui kebijakan ini menghadirkan tantangan serius di lapangan, khususnya terkait kualitas, pengeringan, dan logistik.
“Kami mengikuti arahan pemerintah untuk menyerap gabah sebanyak-banyaknya, termasuk gabah yang belum kering sempurna. Ini sebagai bentuk dukungan kepada petani,” Ujar Kepala Perum Bulog Cabang Bone, Maysius Patintingan, Senin (12/05/2025) lalu.
Ia menambahkan, “Kami sering mendapatkan kecemburuan dari petani yang memiliki gabah kualitas baik, karena harga kualitas kurang baik dengan kualitas baik harga sama. ” Tambahnya.
Penulis : Ricky
Editor : Admin
Sumber Berita : Redaksi Sulsel