Berita Harian, dnid.co.id — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Hukham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menanggapi kritik tajam dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terkait wacana penggunaan restorative justice (RJ) untuk aktivis yang ditetapkan sebagai tersangka.
Sebelumnya, ICJR menyebut tawaran pemerintah menggunakan RJ dalam kasus tersebut sebagai langkah “salah kaprah” yang justru mengaburkan kewajiban negara melindungi kebebasan berpendapat.
Plt Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati menegaskan bahwa aksi yang dilakukan para aktivis dan mahasiswa, seperti Laras Faizati, Khariq Anhar, Syahdan Husein, dan Delpedro Marhaen, merupakan bentuk ekspresi damai yang dijamin oleh konstitusi, sehingga tidak seharusnya dipandang sebagai tindak pidana.

“Jika sedari awal bukan tindak pidana, maka hentikan salah kaprah narasi ini bisa diselesaikan dengan restorative justice,” ujar Maidina dalam keterangannya, Sabtu (13/9/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut ICJR, mekanisme RJ hanya relevan untuk kasus tindak pidana yang memiliki korban dan pelaku yang jelas. Menyematkan status tersangka kepada para aktivis dinilai merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berpendapat yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Yusril: Kalau Tak Bersalah, Hadapi di Pengadilan
Melalui akun X pribadinya, @yusrilihza_Mhd, Yusril menegaskan bahwa restorative justice memang tidak bisa diterapkan jika pihak yang dituduh sejak awal meyakini dirinya tidak bersalah. Dalam situasi itu, kata Yusril, satu-satunya jalan yang tepat adalah membuktikan kebenaran melalui proses pengadilan.
“Kalau pelaku sedari awal sudah merasa dirinya tidak bersalah, tentu restorative justice tidak bisa diterapkan. Kalau sudah demikian, dia tidak punya pilihan kecuali menghadapi dakwaan di pengadilan nantinya. Beri kesempatan majelis hakim dari PN sampai MA untuk mengadili dakwaan itu,” tulis Yusril, Sabtu (13/9/2025).
Ia juga menyinggung kasus yang menjerat Delpedro Marhaen. Menurutnya, Delpedro harus melakukan pembelaan secara kesatria di hadapan majelis hakim, bukan hanya melalui opini publik.
“Delpedro harus melakukan pembelaan secara kesatria. Yang gagal paham dalam kasus Delpedro ini justru Ketua ICJR itu sendiri,” kata Yusril.
Tegaskan Tuduhan Bukan soal Kebebasan Berpendapat
Yusril menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Delpedro bukan karena ia mengekspresikan pendapatnya, melainkan karena adanya dugaan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU ITE.
“Polisi tidak menahan Delpedro karena dia mengekspresikan pendapatnya. Kebebasan menyatakan pendapat dijamin oleh UUD 1945. Pasal-pasal yang disangkakan kepada Delpedro adalah delik penghasutan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU ITE,” jelasnya.
Ia menambahkan, penetapan tersangka dilakukan sesuai mekanisme hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan minimal dua alat bukti permulaan yang cukup. Jika ICJR atau pihak pembela menganggap sangkaan tersebut tidak beralasan, Yusril mendorong agar pembelaan dilakukan melalui jalur hukum resmi.
“Kalau Ketua ICJR berpendapat sangkaan itu tidak beralasan, ya lakukan pembelaan mengikuti jalur hukum yang benar. Hakim yang akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini fair, adil, dan proporsional,” tegas Yusril.
Ajak ICJR Terlibat Nyata
Di akhir pernyataannya, Yusril meminta ICJR untuk tidak berhenti pada kritik publik semata, tetapi juga terlibat nyata dalam membela Delpedro jika memang meyakini bahwa kasus ini adalah bentuk kriminalisasi.
“Anda minta kuasa saja dari Delpedro untuk bergabung dengan tim LBH melakukan pembelaan. Saya akan menghormati Anda jika benar-benar melakukan pembelaan dengan perbuatan nyata, bukan sekadar beropini,” tutupnya.
Polemik ini muncul di tengah proses hukum yang sedang berjalan terhadap Delpedro dan sejumlah aktivis lainnya, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pasca demonstrasi akhir Agustus lalu.
Penulis : Dito
Editor : Admin
Sumber Berita : Akun X Yusril Ihza Mahendra