Penulis : Husba Phada
Wakil Ketua Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga Luwu (BPW KKLR), Tokoh Masyarakat Latimojong.
Pegunungan Latimojong adalah permata hijau di jantung Sulawesi Selatan. Ia menyimpan kekayaan flora dan fauna endemik yang tak ternilai, sekaligus menjadi hulu bagi sejumlah sungai besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Luwu. Sungai-sungai ini bukan sekadar aliran air, tetapi sumber kehidupan yang menopang pertanian, kebutuhan air bersih, hingga menjadi tumpuan Belopa, ibu kota kabupaten.
Hutan Latimojong adalah benteng alam. Dengan lebatnya pepohonan, ia berfungsi sebagai spons raksasa yang menyerap air hujan, mencegah erosi, dan meredam potensi banjir besar. Sungai Suso, salah satu sungai yang berhulu di kawasan ini, membuktikan peran vital Latimojong dalam menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Di kaki pegunungan, Kecamatan Latimojong merasakan langsung manfaat dari kelestarian hutan. Masyarakat di sana hidup berdampingan dengan alam, memanfaatkan sumber daya secara bijak, dan melestarikan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Mereka adalah penjaga sejati Latimojong yang memahami bahwa kelestarian hutan adalah kunci keberlangsungan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, bayang-bayang ancaman semakin nyata. Aktivitas pertambangan yang masif, atas nama pembangunan dan peningkatan ekonomi, mulai menggerus ekosistem. Pembukaan lahan, penebangan ilegal, serta pencemaran air akibat limbah tambang adalah bom waktu yang siap meledak dan merusak Latimojong.
Dalam literatur pembangunan, kritik terhadap model pertumbuhan konvensional sudah lama mengemuka. W.W. Rostow misalnya, dengan teori Stages of Economic Growth-nya, menekankan industrialisasi sebagai jalan menuju kemajuan. Namun, pendekatan ini dikritisi karena cenderung mengabaikan dimensi sosial-ekologis. Joseph Stiglitz bahkan menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh hanya diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan kualitas hidup dan keberlanjutan lingkungan.
Dari perspektif politik ekologi, Arturo Escobar melihat bahwa pembangunan modern sering melahirkan “mitos kemajuan” yang justru meminggirkan masyarakat lokal dan menghancurkan ekosistem. Pertanyaan mendasar yang diajukan Escobar relevan untuk Latimojong: pembangunan untuk siapa, dan dengan biaya apa?
James O’Connor menambahkan bahwa kapitalisme memiliki “kontradiksi kedua” (second contradiction), yakni kerusakan lingkungan yang pada akhirnya merusak fondasi produksi itu sendiri. Kasus Latimojong adalah contoh nyata: mengejar keuntungan jangka pendek melalui pertambangan berisiko menghancurkan basis ekologis yang menopang kehidupan masyarakat Luwu.
Jika Latimojong hancur, bencana tak terhindarkan. Erosi akan semakin parah, banjir menjadi langganan, sumber air bersih tercemar, dan lahan pertanian kehilangan kesuburannya. Inilah yang disebut para ahli pembangunan sebagai environmental costs of development—biaya lingkungan yang kerap diabaikan dalam perhitungan ekonomi formal.
Menambang di Latimojong sama saja dengan menambang bencana. Keuntungan ekonomi sesaat dari pertambangan tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas Gro Harlem Brundtland mengingatkan kita: pembangunan seharusnya memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan generasi mendatang.
Kini saatnya membuka mata dan hati untuk bertindak menyelamatkan Latimojong. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus bersinergi mencari solusi berkelanjutan—bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga menjaga kelestarian lingkungan serta kesejahteraan rakyat.
Dalam kerangka politik ekologi, penyelamatan Latimojong adalah bagian dari upaya merebut kembali hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan adil. Ini bukan sekadar soal melindungi hutan, tetapi juga memperjuangkan keadilan ekologis yang memastikan bahwa pembangunan tidak melahirkan korban baru.
Latimojong bukan hanya sekadar gunung, ia adalah sumber kehidupan dan simbol warisan ekologis Sulawesi Selatan. Menghancurkannya sama saja dengan merusak masa depan generasi yang akan datang. Jangan biarkan kerakusan dan keserakahan merusak permata hijau ini.
Editor : Kingzhie
Sumber Berita : Narasumber