Makassar,DNID.co.id — Lemahnya perlindungan hak kepemilikan tanah di Sulawesi Selatan kembali disorot setelah berbagai konflik agraria antara warga dan korporasi besar terus bermunculan.
Kasus intimidasi, penggusuran paksa, hingga kriminalisasi warga menunjukkan negara belum sepenuhnya menjalankan mandat Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan UUPA 1960 yang mewajibkan perlindungan hak milik serta kepastian hukum.
Konflik lahan terjadi di banyak daerah mulai Gowa, Takalar, Bulukumba, hingga Makassar, termasuk sengketa besar di Tanjung Bunga yang melibatkan Kalla Group dan Lippo Group.
Sepanjang 2025, Makassar juga diwarnai sengketa rumah SHM di Jalan Pettarani, lahan Showroom Mazda, dan sejumlah kasus tumpang tindih sertifikat lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Bidang PTKP Badko HMI Sulsel, Muhammad Rafly Tanda, mendesak Polda Sulsel bertindak aktif menyelesaikan sengketa agar warga tidak lagi menjadi korban.
“Jangan sampai ada warga yang jadi korban akibat sengketa lahan,” tegasnya.
Rafly menjelaskan konflik pertanahan kerap disebabkan tumpang tindih sertifikat, lemahnya administrasi, serta praktik percaloan dan mafia tanah yang menciptakan ketidakpastian hukum bagi warga yang telah menempati lahan puluhan tahun.
“Yang diuntungkan selalu mereka yang punya afiliasi kuat dengan oknum penegak hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan kepolisian wajib serius membongkar jaringan mafia tanah sebagaimana amanat Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2021, sekaligus memastikan keterlibatan aparat benar-benar berpihak pada perlindungan masyarakat.
Sebagai pembanding, Jawa Tengah dan Bali telah menerapkan digitalisasi data pertanahan berbasis GIS untuk mencegah tumpang tindih sertifikat, sementara Jakarta memperketat audit pertanahan sebelum izin pembangunan terbit. Sulsel diminta mengadopsi langkah serupa.
“Tanpa keberanian menindak mafia tanah, konflik agraria di Sulawesi Selatan akan terus berulang dan meninggalkan ketidakadilan bagi masyarakat kecil,” tutup Rafly.
Editor : Kingzhie





























