Dnid.co.id, Makassar – Pusat Kajian dan Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel menilai Polda Sulsel telah melakukan kesalahan fatal dalam penegakan hukum dengan menerbitkan SP3 terhadap pelaku penipuan online (cyber fraud) melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). (23/09/2025).
Meski pada pemberitaan sebelumnya, Polda Sulsel diduga bebaskan pelaku passobis lintas negar usai terima sejumlah dana penangguhan.
Melalui Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto, S.I.K., M.H. mengklarifikasi perihal tersebut bahwa Ditkrimsus Polda Sulsel telah menyelesaikan perkara melalui Restoratif of Justice (RJ).

“Laporan telah dicabut karena ada kesepakatan kedua belah pihak & kerugian telah di kembalikan,” ucap KBP Didik via whatss app.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara ketiga terduga pelaku yang di tangkap berinisial TS, YD alias H dan FDA. mereka ditangkap di Kab. Wajo, Sulsel, Jum’at, (25/07/2025) silam.
Terkait adanya perihal permintaan sejumlah uang penangguhan, Kabid Humas Polda Sulsel pun membantah.
“Jadi tidak benar apabila Ditkrimsus meminta imbalan uang,” lanjut Kabid Humas.
Berdasarkan Surat Penetapan Pemberhentian Penyidikan Nomor : SPPP/63/VIII/Res.2.5/2025/Ditreskrimsus tanggal 12 Agustus 2025.
Surat tersebut sudah dikirimkan ke Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan sesuai dengan Surat nomor : B/4842/VIII/Res.2.5/2025/Ditreskrimsus tanggal 13 Agustus 2025.
Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma, S.H., M.H menilai bahwa kasus ini sudah masuk dalam kategori delik umum, bukan sekadar delik aduan.
Karena itu, penyelesaiannya tidak boleh hanya didasarkan pada perdamaian antara pelapor dan pelaku.
“Bahaya ini bagi Polda Sulsel jika melakukan Restorative Justice pada delik umum kejahatan siber yang melibatkan banyak korban (mass victim). Ini cacat yuridis,” tegas Farid.
Berdasarkan riset tim Kajian dan Analisis Data PUKAT Sulsel menemukan, Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya memperbolehkan SP3 diterbitkan dengan tiga alasan:
1. Tidak cukup bukti,
2. Peristiwa bukan tindak pidana, atau
3. Penyidikan dihentikan demi hukum.
“Tidak ada satupun syarat perdamaian yang bisa dijadikan dasar penghentian penyidikan delik umum. RJ itu tepatnya hanya untuk delik aduan atau tindak pidana ringan yang tidak menimbulkan keresahan sosial. Dalam kasus cyber fraud, syarat kumulatif dalam Perpol No. 8 Tahun 2021 jelas tidak terpenuhi,” jelasnya.
Pria yang kerap disapa Ian ini juga menyoroti pernyataan resmi Polda Sulsel yang menyebutkan kasus sudah didamaikan antara pelaku dan korban.
“Penalaran hukum seperti ini kacau sekali. Bukannya meredam opini publik, malah justru memperlihatkan penyalahgunaan diskresi hukum dan membuka ruang impunitas bagi pelaku kejahatan siber,” kritiknya.
Lebih jauh, Farid menegaskan bahwa tindakan Polda Sulsel ini juga tidak fair secara sosiologis, karena mengabaikan potensi adanya korban lain yang tidak teridentifikasi. “Cyber fraud itu sangat berpotensi melahirkan mass victim dan keresahan masyarakat luas. Jika polisi menutup mata dengan dalih RJ, sama saja memberi kesempatan bagi pelaku untuk mengulangi kejahatan,” pungkasnya.
PUKAT Sulsel mendesak Polda Sulsel untuk segera melakukan verifikasi potensi korban lain dan membatalkan penerapan RJ dalam kasus ini, demi menjaga kredibilitas penegakan hukum dan melindungi kepentingan publik. (*\)
Penulis : ITS
Editor : Admin
Sumber Berita : Narasumber
Penanggung Jawab : Admin