(Catatan tentang Pendidikan, Kekuasaan, dan Memori Sejarah).
Penulis : Muhammad Ardiansyah
Mahasiswa magister ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Saya, seperti banyak dari kita, masih berharap akan perubahan besar di negeri yang kita cinta bersama ini. Namun, di antara harapan itu terselip juga rasa putus asa. Sebab revolusi tidak lahir dari sekadar kemarahan, melainkan dari kesadaran kolektif yang matang. Di Prancis pada akhir abad ke-18, rakyat memahami bahwa kondisi negaranya tidak bisa dibiarkan. Di Indonesia hari ini, kesadaran semacam itu tampak masih tertunda terperangkap antara apatisme (baca – sikap tidak peduli, acuh tak acuh, dan kehilangan minat atau semangat terhadap lingkungan dan kejadian di sekitar, baik masalah pribadi maupun sosial),yang dikemas sebagai gaya hidup dan sistem yang dengan rapi menjaga ketidaktahuan.
Membuat masyarakat cerdas sejatinya adalah tindakan pembebasan. Tetapi, di sisi lain, kecerdasan rakyat sering kali dianggap berbahaya bagi mereka yang menikmati ketidakseimbangan kekuasaan. Rakyat yang terdidik berpikir lebih tajam, berani mengkritik, dan menuntut kebijakan yang lebih adil. Sebaliknya, elit yang bergantung pada kelangsungan status quo lebih nyaman menghadapi masyarakat pasif dan minim pengetahuan karena sedikit pengetahuan berarti sedikit tuntutan, dan sedikit tuntutan berarti lebih banyak ruang untuk bertindak sewenang wenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejarah yang Mengajarkan Luka
Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa otoritarianisme tidak hanya menargetkan lawan bersenjata, tetapi juga pemikiran. Dalam setiap masa kelam, tokoh budaya, akademisi, dan pemimpin lokal sering menjadi korban pertama.
Kalimantan Barat adalah contoh yang jarang dibicarakan. Selama pendudukan Jepang di Perang Dunia II, tindakan represif di wilayah itu menghancurkan kepemimpinan lokal dan intelektual setempat sebuah tragedi yang memutus pewarisan sosial dan politik daerah secara mendalam. Peristiwa seperti Insiden Pontianak memperlihatkan pola klasik: menyingkirkan mereka yang memiliki kapasitas berpikir dan potensi memimpin perlawanan.
Mengapa Masyarakat Kritis Selalu Sedikit?
Jika kita tarik garis ke masa kini, minimnya jumlah warga yang benar-benar kritis bukan kebetulan. Ada setidaknya tiga alasan struktural mengapa hal itu terjadi.
Pertama, orientasi pendidikan kita terlalu sempit pada fungsi instrumental—sekolah dijadikan mesin pencetak tenaga kerja, bukan tempat melahirkan warga negara yang sadar dan berpikir kritis. Kurikulum yang hanya mengejar sertifikasi, daya saing, dan outcome pasar kerja membuat kemampuan berpikir tingkat tinggi terpinggirkan.
Kedua, ekonomi politik pendidikan turut menciptakan ketimpangan. Akses terhadap pendidikan berkualitas masih mahal dan terkonsentrasi. Akibatnya, hanya segelintir orang yang bisa mengembangkan kapasitas kritisnya. Ketimpangan ini menjadi alat kontrol halus: semakin sedikit orang yang tahu, semakin mudah kekuasaan dijaga.
Ketiga, dominasi narasi media dan budaya apatis yang dipelihara melalui pendidikan formal yang steril dari konten kewargaan, serta komunikasi publik yang menormalisasi sinisme, membuat banyak orang merasa “apatis itu keren”.
Kritik menjadi barang langka, bahkan dianggap tidak relevan.
Membangun Kecerdasan yang Membebaskan, Kritik tajam tanpa peta jalan hanya menghasilkan kebisingan. Perubahan berkelanjutan memerlukan strategi ganda: membangun kapasitas dan melindungi ruang publik.
Reorientasi kurikulum. Masukkan literasi media, pendidikan kewargaan kritis, dan pemikiran komparatif dalam format aplikatif. Sekolah harus melatih siswa menilai bukti, membangun argumen, dan berkolaborasi—bukan sekadar “belajar demi nilai”.
Perluasan akses pendidikan berkualitas. Subsidi untuk sekolah di daerah, beasiswa bagi siswa miskin, dan pelatihan guru berbasis metode diskursif adalah investasi langsung pada kecerdasan bangsa.
Perlindungan ruang publik dan kebebasan akademik. Institusi pendidikan dan media independen harus dijaga sebagai benteng bagi perdebatan sehat. Ketika ruang ini dilemahkan, kemampuan kolektif masyarakat untuk mengoreksi kekuasaan ikut hilang.
Literasi media lintas usia. Tidak cukup di sekolah program komunitas, kursus pekerja, hingga kampanye nasional perlu mengajarkan verifikasi fakta dan pemikiran kritis.
Penguatan jaringan sipil. Organisasi masyarakat sipil, serikat profesi, dan komunitas berbasis keterampilan harus diperkuat agar kritik berubah menjadi aksi kolektif yang terorganisir, damai, dan berdaya guna.
Pertanyaan akhirnya sederhana namun penting:
Apakah sistem secara sengaja merancang ketidaksadaran?
Jika bukan karena niat, mungkin karena efek yang bisa ditoleransi oleh mereka yang diuntungkan. Dan justru di sinilah pentingnya perjuangan untuk pendidikan bermutu dan kebebasan intelektual: dua hal yang menjadi benteng paling kuat terhadap penyalahgunaan kekuasaan hari ini dan di masa depan.
Dipenghujung tulisan penulis menaruh harapan besar kepada masyarakat, Kita tidak perlu menunggu revolusi besar yang spektakuler.Revolusi intelektual yang perlahan, dibangun dari ruang-ruang belajar kecil, guru yang menginspirasi, dan warga yang mampu menilai bukti, justru lebih tahan lama. Jika itu berhasil, mereka yang ingin berbuat seenaknya akan menemukan lawan yang jauh lebih tangguh: masyarakat yang tahu, berani berbicara, dan bertindak bersama.
Editor : Kingzhie



























