Breaking News

Radio Player

Loading...

Dialog Akhir Tahun KAJ Sulsel  Soroti Ancaman Kekerasan dan Krininalisasi Jurnalis

Senin, 29 Desember 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Makassar,DNID.co.id — Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulawesi Selatan menggelar Dialog Akhir Tahun di Cafe Lorong, Jalan Salemba, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/12/2025).

Dialog ini mengusung tema ‘Tapak Tilas Kebebasan Pers Sulsel dalam bayang-bayang otoritasrisme’, menghadirkan empat narasumber, yakni Koordinator KAJ Sulsel Idris Tajannang, Direktur LBH Pers Makassar Fajriani Langgeng, Ketua Majelis Etika AJI Makassar Abdul Karim, serta Guru Besar UIN Alauddin Makassar dan pegiat demokrasi Prof Firdaus Muhammad. Diskusi dipandu jurnalis Firda Jumardi.

Koordinator KAJ Sulsel, Idris Tajannang mengatakan sejauh ini KAJ Sulsel telah mengadvokasi beberapa kasus.

ads

Antara lain, kasus gugatan perdata Herald dan Inikata yang digugat oleh Stafsus Gubernur Sulsel pada 2024 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kemudian, kami juga aksi untuk mengawal tempo yang digugat oleh mentan,” ucapnya

Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng menyebut lima tahun terakhir menjadi periode yang berat bagi profesi jurnalis khususnya di Sulsel Direktur LBH.

“Pasca 2019, terutama setelah momentum politik dan pandemi, teman-teman jurnalis mengalami dampak serius. Mulai dari pemulihan kerja yang lambat, kontrak kerja yang tidak jelas, hingga banyaknya kasus yang tertunda,” jelasnya

Ia menjelaskan, meski tahun 2021–2022 tidak berada dalam situasi politik nasional yang panas, imbas pra-politik tetap terasa terhadap profesi jurnalis. Hal itu terlihat dari kasus-kasus ditangani LBH Pers.

Menurutnya, tidak semua kasus yang dicatat AJI masuk dalam penanganan hukum LBH Pers. Sebagian hanya berhenti di level konsultasi awal.

AJI Makassar sendiri pernah mencatat hingga 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2021, yang menjadi puncak kekerasan dalam satu dekade terakhir.

Bentuk kekerasan itu mulai dari fisik, perusakan alat liputan, hingga intimidasi saat peliputan.

“Dalam rentang 2011 sampai 2021, aktor kekerasan masih didominasi TNI dan aparat penegak hukum. Tapi dalam 10 tahun terakhir, terjadi pergeseran. Pemerintah, sipil, hingga aparat, semuanya punya potensi membungkam kerja jurnalistik,” tegasnya.

Ia menyoroti meningkatnya kriminalisasi jurnalis pada 2021. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya implementasi MoU Dewan Pers dan Polri yang tidak mengatur teknis penyelesaian sengketa secara rinci.

“Aparat menggunakan perspektif KUHP, sementara kami menggunakan Undang-Undang Pers. Beda buku, beda aturan main. Di situ benturannya,” katanya.

Akibatnya, banyak laporan jurnalis menggunakan Undang-Undang ITE, baik di Polda Sulsel maupun Polrestabes Makassar.

Sebagian kasus berlanjut hingga P21, sebagian lain dibiarkan menggantung.

Kasus jurnalis inisial A di Palopo menjadi contoh nyata. Meski sengketa jurnalistik telah selesai di Dewan Pers, proses pidana tetap berjalan hingga jurnalis tersebut divonis tiga bulan penjara.

“Dalam putusan hakim, dia dianggap bersalah karena pencemaran nama baik yang tidak didukung fakta dan data. Aktor dalam kasus ini adalah pemerintah daerah,” ungkapnya.

Selain itu, 2021 juga diwarnai gugatan perdata terhadap lima media—Terkini News, Celebes News, Makassar Today, Kabar Makassar, dan RRI—dengan nilai fantastis Rp100 triliun.

Gugatan itu akhirnya tidak diterima karena belum menempuh mekanisme Undang-Undang Pers.

“Ini contoh baik, karena hakim mempertimbangkan bahwa sengketa pers harus diselesaikan dulu melalui Dewan Pers,” jelasnya.

Ia juga menyoroti meningkatnya kekerasan berbasis gender online yang dialami jurnalis perempuan, terutama pada 2022.

Kekerasan itu terjadi saat liputan lapangan maupun di ruang digital.

“Masalahnya, jurnalis perempuan menghadapi hambatan berlapis. Dukungan domestik minim, perusahaan tidak punya SOP, dan ada intimidasi dari pelaku,” katanya.

Menurutnya, perusahaan pers belum memiliki standar mitigasi risiko bagi jurnalis perempuan, terutama untuk liputan konflik. Negara dan perusahaan dinilai absen dalam menyediakan perlindungan dan dana darurat.

“Ketika jurnalis perempuan berhenti bekerja karena trauma, mereka tidak digaji. Safety fund justru disediakan oleh jaringan NGO, bukan perusahaan,” tegasnya.

Pada 2023, kasus kekerasan kembali meningkat seiring pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.

Di Bulukumba, jurnalis iNews mengalami kekerasan oleh aparat.

Sementara di Jeneponto terjadi pembatasan akses informasi dengan dalih perlindungan data.

“Tahun ini juga terjadi gelombang PHK. Ada sembilan media online terdampak pengurangan pekerja,” ungkap Fajriani

Ia menilai Undang-Undang Cipta Kerja semakin melemahkan posisi jurnalis. Hingga kini, kontrak kerja dinilai tidak transparan.

“Saya lebih 10 tahun mengawal kasus jurnalis, hampir tidak pernah melihat kontrak kerja yang jelas, bahkan di perusahaan besar,” katanya.

Memasuki 2024, ancaman baru muncul melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Regulasi ini dinilai berpotensi membatasi kerja jurnalistik karena tidak terharmonisasi dengan Undang-Undang Pers.

“Ini bisa memicu sensor dan ketakutan dalam mengkritik,” ujarnya.

Namun, ia mengapresiasi revisi Undang-Undang ITE dan terbitnya SKB antara Dewan Pers, Kepolisian, dan Kejaksaan pada 2024. Aturan ini mewajibkan setiap sengketa karya jurnalistik dirujuk terlebih dahulu ke Dewan Pers.

“Ini memberi efek redam. Di 2024–2025, kasus di Polda dan Polrestabes relatif senyap,” kata dia

Meski demikian, ia mengingatkan masih adanya celah karena banyak perkara tidak dihentikan secara resmi melalui SP3.

“Kalau Dewan Pers sudah menyatakan itu karya jurnalistik, seharusnya SP3. Kalau tidak, ini bisa jadi pintu masuk transaksi kasus di kemudian hari,” tegasnya.

Lahirnya Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulsel sebagai respons kegelisahan organisasi profesi dalam menangani kasus-kasus pers lintas organisasi.

Sementara itu, Prof Firdaus Muhammad menegaskan, identitas jurnalis tidak boleh dibatasi oleh asal media maupun perusahaan tempat bekerja.

“Di media mana, perusahaan mana, yang jelas kita ini wartawan. Kita tidak dilihat lagi dari rumahnya di mana atau kantornya di mana, yang jelas kita jurnalis,” tegas Firdaus.

Ia juga menyoroti gugatan Herald dan Inikata yang nilainya fantastis mencapai Rp 700 Miliar

Prof Firdaus pun menyebut gugatan tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan.

“Ini dahsyat sekali. kalau saya ini   pelecehan dengan menyebut nominal. Itu seenaknya menyebut Rp 700 miliar, Rp 200 miliar.

Untuk profesi mulia kita seorang jurnalis, itu kita tidak pernah melihat uang yang satu miliar saja,” tegas Guru Besar UIN Alauddin ini.

Apalagi kata dia, gaji wartawan saja biasanya di bawah UMR.

“Tiba-tiba kita mendengar gugatan ratusan miliar. Mungkin uangnya mereka segitu standarnya, tapi kita kan tidak seperti itu. Jadi, menyebut nominal yang ratusan miliar bagi saya itu juga sebuah pelecehan institusi atau profesi wartawan,” tambahnya

Meski demikian, Firdaus mengingatkan agar jurnalis tidak terus berada dalam posisi terintimidasi.

“Kita ini sebenarnya menang. Kasus Herald kita menangkan. Ini juga patut dirayakan sebagai kemenangan kebebasan pers,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya introspeksi, terutama soal profesionalisme penulisan berita, seiring maraknya media online dan rekrutmen jurnalis tanpa proses memadai.

“Untuk menghindari kesewenang-wenangan negara, kita juga harus profesional,” katanya.

Firdaus menyayangkan fenomena take down berita oleh perusahaan media.

“Kalau ada kesalahan data, perbaiki, bukan dihilangkan. Komitmen perusahaan media juga sedang diuji,” tegasnya.

Pegiat demokrasi Abdul Karim Karim menegaskan kerja-kerja jurnalis bukan sekadar aktivitas rutin menyampaikan informasi, melainkan bagian dari perjuangan nilai dan visi demokrasi.

Ia menilai, setiap jurnalis harus menyadari di balik kerja jurnalistik terdapat tanggungjawab moral untuk membangun ruang publik yang sehat, termasuk kesiapan menerima kritik.

“Bahwa teman-teman bekerja ini tidak bekerja begitu saja. Ada visi, ada nilai demokrasi yang diperjuangkan. Sehingga ke depan mereka bisa terima ketika dikritik,” ujar Abdul Karim.

Menurutnya, kemampuan bersiasat dalam menyampaikan kritik menjadi pelajaran penting dari sejarah pers di masa Orde Baru.

Ketika itu keterbukaan sangat terbatas sehingga wartawan dituntut cermat dalam mengolah pesan.

“Saya banyak mempelajari media-media di zaman Orde Baru. Ini kemampuan bersiasat, kemampuan mengolah,” katanya.

Abdul Karim mencontohkan Tempo yang tetap konsisten dengan gaya jurnalisme sastrawi hingga hari ini.

Bagi dia, gaya tersebut lahir dari konteks sejarah saat kritik tidak bisa disampaikan secara frontal.

“Kenapa Tempo mempertahankan gaya jurnalisme sastrawi? Karena sejarahnya dia dibentuk di zaman Orde Baru. Mengkritik secara langsung itu berat, maka kritik disampaikan dengan gaya sastra,” jelasnya.

Ia menyebut, banyak wartawan di era tersebut memiliki latar belakang sebagai penulis cerpen dan puisi. Hal itu memperkaya perspektif dan cara penyampaian kritik agar lebih dapat diterima.

“Ini bukan soal kemampuan berbahasa, tapi kemampuan menyajikan bahasa ketika orang dikritik tidak marah. Dia bisa terima,” tegasnya.

KAJ Sulsel ini merupakan merupakan gabungan dari beberapa organisasi antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar, serta LBH Pers Makassar.

Simpan Gambar:

Editor : Kingzhie

Sumber Berita : KAJ Sulawesi Selatan

Berita Terkait

PW SEMMI NTB Soroti Progres 60 Persen Proyek NICU–PICU RS Sondosia Molor, PPK Dinilai Lakukan Pembiaran
PW SEMMI NTB Desak Polres Dompu Tindaklanjuti Hasil Gelar Perkara Polda NTB atas Kasus Oknum DPRD Provinsi NTB Efan Limantika
Actinium-225: Bukti Manfaat Nuklir Untuk Manusia
Mengapa Negara Kepulauan Justru Membutuhkan PLTN?
Hadiri Milad Ke-113 Tahun, Bupati Gowa Apresiasi Peran Muhammadiyah dalam Pembangunan Daerah
BPBD Kota Makassar Tingkatkan Kesiapsiagaan Hadapi Cuaca Ekstrem di Darat dan Laut
Bersama Fokus Babel, Dr Ahmad Nahwani Suarakan Pemekaran Nyata dan Dialog Terbuka PLTN di Babel
Polisi Menyebar Personel Hingga Bibir Pantai Demi Menutup Celah Kriminal Nataru
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 29 Desember 2025 - 20:14 WITA

PW SEMMI NTB Soroti Progres 60 Persen Proyek NICU–PICU RS Sondosia Molor, PPK Dinilai Lakukan Pembiaran

Senin, 29 Desember 2025 - 19:37 WITA

PW SEMMI NTB Desak Polres Dompu Tindaklanjuti Hasil Gelar Perkara Polda NTB atas Kasus Oknum DPRD Provinsi NTB Efan Limantika

Senin, 29 Desember 2025 - 15:25 WITA

Actinium-225: Bukti Manfaat Nuklir Untuk Manusia

Senin, 29 Desember 2025 - 15:19 WITA

Mengapa Negara Kepulauan Justru Membutuhkan PLTN?

Senin, 29 Desember 2025 - 13:21 WITA

Dialog Akhir Tahun KAJ Sulsel  Soroti Ancaman Kekerasan dan Krininalisasi Jurnalis

Senin, 29 Desember 2025 - 11:34 WITA

Hadiri Milad Ke-113 Tahun, Bupati Gowa Apresiasi Peran Muhammadiyah dalam Pembangunan Daerah

Senin, 29 Desember 2025 - 11:27 WITA

BPBD Kota Makassar Tingkatkan Kesiapsiagaan Hadapi Cuaca Ekstrem di Darat dan Laut

Minggu, 28 Desember 2025 - 16:27 WITA

Bersama Fokus Babel, Dr Ahmad Nahwani Suarakan Pemekaran Nyata dan Dialog Terbuka PLTN di Babel

Berita Terbaru

Kriminal Hukum

Galakkan Ops KRYD, Polsek Manggala Amankan 50 Liter Miras Ballo

Senin, 29 Des 2025 - 19:28 WITA

Kriminal Hukum

Gerak Cepat Personel Polsek Biringkanaya Bubarkan Pesta Miras

Senin, 29 Des 2025 - 19:21 WITA