Berita Harian Dnid-Makassar, Pemilik Ahli Waris Gedung Hamrawati yang mengklaim kepemilikan lahan di AP Pettarani, Kota Makassar, Muh Ali Hamat Yusuf, masih terus berjuang atas lahan yang telah dieksekusi Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 13 Februari 2025 lalu.
Ia melayangkan protes keras terhadap putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi, hingga bersurat ke Presiden Prabowo Subianto.
Ali menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan sejumlah bukti yang telah diajukan dalam persidangan.
“Majelis hakim memutus selama 12 bukti ada putusan KY, tapi tidak dipertimbangkan.
Baso Matutu, tidak dipertimbangkan Kita berbicara hukum, ada bukti, kenapa Baso Matutu yang dibenarkan?” ujar Hamat Yusuf dengan penuh emosi.
Ali Hamat Yusuf mengklaim telah menguasai lahan tersebut selama 84 tahun, serta rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ia juga menuding pihak pemohon eksekusi, Andi Baso Matutu, tidak memiliki dasar kepemilikan yang kuat.
“84 tahun saya kuasai, saya bayar PBB dan IMB-nya. Baso Matutu tidak pernah menguasai, tidak ada tanahnya di sini,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti dugaan ketidakadilan dalam putusan pengadilan, termasuk hilangnya barang bukti yang sebelumnya diajukan dalam proses hukum.
“Ada putusan KY bahwa hakimnya itu tidak adil memutus perkara, ada putusan pidana, bukti yang diajukan di persidangan ternyata palsu, tapi kenapa ini semua dibenarkan? Saya berbicara hukum, bukan pribadi dan ada bukti,” lanjutnya.
Dia mengaku telah mengajukan surat keberatan kepada berbagai pihak, termasuk Presiden, Wakil Presiden, serta sejumlah institusi pemerintah terkait.
Namun, hingga saat ini ia mengklaim belum mendapatkan tanggapan atas aduan tersebut.
“Surat saya sudah masuk ke Presiden, Wakil Presiden, Istana, institusi pemerintah lainnya, BPN, Pengadilan, Kapolda, Kapolres, semuanya sudah tapi tidak ditanggapi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Makassar melaksanakan eksekusi bangunan gedung dan ruko dengan luas 12.931 m² di Jalan A.P. Pettarani, Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Kamis, 13 Februari 2025.
Pelaksanaan eksekusi ini dilakukan berdasarkan putusan PN Makassar No. 49/Pdt.G/2018/PN Mks, yang telah dikuatkan melalui putusan di tingkat Pengadilan Tinggi Makassar (No. 133/PDT/2019/PT MKS).
Serta Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi (No. 2106 K/Pdt/2020), serta dua putusan Peninjauan Kembali (No. 826 PK/Pdt/2021 dan No. 1133 PK/Pdt/2023).
Penasihat Hukum Andi Baso Matutu, Hendra Karianga dari Law Office Hendra Karianga & Associate, menegaskan bahwa kliennya adalah pemilik sah tanah seluas 12.931 m² berdasarkan putusan hukum yang berkekuatan tetap.
Dijelaskan bahwa proses hukum sengketa lahan ini telah melalui berbagai tahapan pengadilan sejak 2018 hingga 2020, yang berujung pada keputusan bahwa Andi Baso Matutu adalah pemilik sah tanah tersebut.
“Secara hukum sudah jelas, tidak ada lagi perdebatan. Semua pihak yang mengklaim tanah ini telah dikalahkan dalam putusan pengadilan, termasuk di tingkat Mahkamah Agung,” ujar Hendra Karianga kepada awak media.
Hendra juga membantah soal adanya tudingan yang menyebut kliennya, Andi Baso Matutu sebagai mafia tanah.
“Itu tidak benar. Klien saya memiliki tanah ini secara sah berdasarkan hukum. Putusan Mahkamah Agung telah menegaskan kepemilikannya,” tegasnya.
Dalam sengketa ini, kata Hendra pihak lawan mengklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan tersebut. Namun, Hendra menjelaskan bahwa SHM tersebut telah dibatalkan karena didasarkan pada dokumen yang dinyatakan palsu oleh pengadilan.
“SHM itu awalnya berasal dari rincik, yang merupakan hak adat. Hak adat diakui dalam sistem hukum Indonesia dan memiliki kekuatan yang sama dengan hak milik,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa terdapat SHM induk bernomor 351 yang telah dipecah menjadi beberapa sertifikat, termasuk 629, 628, 627, 630, dan 631.
“Namun, seluruh sertifikat tersebut telah dinyatakan tidak sah oleh pengadilan,” ujar Hendra.
Andi Baso Matutu yang dikabarkan sedang menjalani proses hukum terkait dugaan pemalsuan dokumen.
Namun, Hendra menegaskan bahwa kasus pidana ini berbeda dengan perkara perdata kepemilikan lahan.
“Perdata menyangkut hak kepemilikan, sementara pidana adalah soal dugaan pemalsuan surat. Sampai sekarang tidak ada bukti siapa pelaku pemalsuan, sehingga kami akan terus memperjuangkan keadilan hingga ke tahap kasasi,” katanya.
Menurut Hendra, lahan ini awalnya merupakan tanah kosong yang kemudian dikuasai dan dikembangkan hingga memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Dulu lahan ini kosong, lalu ada pihak yang menduduki dan diberikan hak. Namun, pemilik asli tetaplah Andi Baso Matutu Karaeng Lengkese,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa klaim pihak lain atas lahan ini telah dibatalkan melalui proses hukum yang panjang.
“Kami telah menghadirkan saksi ahli, termasuk guru besar hukum tanah dan hukum administrasi, yang menyatakan bahwa alas hak di atas bukti yang tidak sah, maka tidak sah pula kepemilikannya,” tegasnya.
Olehnya itu Hendra menegaskan bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap harus dihormati dan dijalankan.
“Dalam hukum Indonesia, putusan pengadilan yang inkrah adalah undang-undang yang harus dilaksanakan. Jadi tidak ada lagi alasan untuk memperdebatkan kepemilikan lahan ini,” pungkasnya. (*)
Penulis : Dito
Editor : Admin
Sumber Berita : Ibu Hamrawati