Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, peran perempuan dalam pembangunan bukan lagi isu pinggiran. Ia telah menjelma menjadi kebutuhan strategis. Namun ironisnya, meski telah banyak kemajuan dalam aspek legal-formal, pengakuan substantif terhadap perempuan sebagai aktor utama pembangunan masih menemui tantangan serius-baik secara struktural, kultural, maupun ideologis.
Hari ini, kita tidak bisa lagi bicara pembangunan hanya dari perspektif teknokratik dan maskulin. Pembangunan bukan cuma soal pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik. Ia adalah proses transformasi sosial yang menuntut keadilan, partisipasi inklusif, dan distribusi sumber daya yang adil.
Di sinilah letak pentingnya keterlibatan perempuan yang bukan hanya mampu menambah variasi perspektif, tetapi juga membawa pendekatan berbasis empati, keberlanjutan, dan keadilan sosial.

ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini perempuan bukan hanya sekadar sasaran program pembangunan, melainkan mereka adalah subjek aktif yang mampu merancang, mengarahkan, bahkan mengawal kebijakan publik. Hal itu terlihat diberbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, UMKM, hingga pengorganisasian masyarakat.
Sayangnya, dalam praktiknya, partisipasi perempuan sering kali bersifat simbolik. Jabatan-jabatan strategis masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan dalam kebijakan yang berkaitan langsung dengan kepentingan perempuan seperti perlindungan ibu dan anak, penghapusan kekerasan seksual, dan keseimbangan kerja-rumah tangga—perempuan sering kali absen dalam proses pengambilan keputusan.
Saatnya Menggugat Ketimpangan Struktural
Dalam pengalaman saya mengikuti Latihan Kader III (LK3) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diadakan oleh Badko Sulawesi Selatan, saya makin menyadari bahwa perubahan sosial tidak bisa ditunda. Dalam forum ini, kami mendiskusikan banyak hal—mulai dari dinamika pembangunan nasional, ideologi global, hingga tantangan internal gerakan mahasiswa itu sendiri.
Satu hal yang mengemuka adalah bahwa perjuangan perempuan untuk menjadi aktor strategis pembangunan bukan sekadar soal kompetensi, tetapi tentang struktur sosial yang harus diubah. Budaya patriarkal yang masih hidup dalam institusi baik negara, masyarakat, bahkan organisasi pergerakan harus ditantang dan dibongkar.
Sebagai kader muda Islam, saya percaya bahwa Islam tidak pernah menutup pintu kepemimpinan perempuan. Justru sebaliknya, Islam meletakkan perempuan sebagai makhluk merdeka yang punya akal dan hak untuk berperan dalam urusan publik. Maka menjadi kontradiktif jika gerakan mahasiswa Islam masih tersandera dalam cara pikir patriarkal yang membatasi peran perempuan.
Membangun panggung ingklusif untuk masa depan
Pembangunan yang adil hanya bisa terwujud ketika setiap warga negara termasuk perempuan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, pengambilan keputusan, dan ruang kepemimpinan. Ini bukan soal mengalah atau memberi “jatah”, tapi soal pengakuan atas kapasitas, kontribusi, dan hak perempuan sebagai warga negara penuh.
Kita harus mulai dari lingkungan terdekat: kampus, organisasi, hingga komunitas. Menciptakan ruang-ruang aman, mendukung kepemimpinan perempuan, dan melibatkan mereka sejak tahap perencanaan hingga evaluasi kebijakan pembangunan.
Penutup: HMI harus menjadi bagian solusi
Himpunan Mahasiswa Islam memiliki tanggung jawab historis dan ideologis untuk menjadi pelopor perubahan. Kita tidak bisa hanya membicarakan keadilan sosial tanpa mempraktikkannya dalam tubuh organisasi.
Jika perempuan tidak diberi ruang aktualisasi dalam HMI, maka narasi besar tentang keadilan hanya akan menjadi jargon kosong.
Sebagai peserta LK3, saya mengajak seluruh kader HMI baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadikan pembangunan sebagai ruang perjuangan bersama. Ruang yang terbuka, setara, dan adil. Karena tanpa perempuan sebagai aktor strategis, pembangunan Indonesia hanya akan berjalan setengah hati.
Penulis: AGUS SALIM
PESERTA LK3 HMI BADKO SULSEL
Penulis : Redaksi