DNID.CO.ID-JENEPONTO- Suasana tenang di Kampung Bungung Lompoa, Kelurahan Bontotangnga, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto, tiba-tiba berubah menjadi malam penuh kepanikan pada 30 Agustus 2025.
Seorang Pemulung barang bekas, Nasrul (46), kini harus menanggung akibat dari keributan itu. Ia ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan dan ditahan, sementara Istri dan enam anaknya hidup dalam kondisi memilukan.
Insiden itu terjadi sekitar pukul 01.00 Wita, ketika seorang pria bernama Karu’ datang dalam keadaan diduga mabuk dan membawa badik terhunus. Ia menggedor pintu rumah Nasrul sambil berteriak-teriak mencari seseorang.
Juddin, warga yang tinggal dekat rumah Nasrul, masih mengingat jelas suasana mencekam malam itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kedatangan Karu’ dalam pengaruh minuman keras dengan membawa badik terhunus. Badik tersebut digunakan untuk menggedor pintu rumah di tengah malam sambil berteriak-teriak,” ucapnya, Jumat (12/12/2025).
Menurutnya, Nasrul yang saat itu sedang tidur bersama keluarganya kaget dan tidak mengerti alasan keributan itu. Ketegangan berlangsung cepat, dan penganiayaan pun terjadi setelah Karu’ terus memaksa masuk.
“Dihatinya, ia bertanya ada apa ini, mengapa malam-malam datang ribut ini orang (Karu’),” cerita Juddin.
Usai kejadian, Nasrul justru yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Istri Cari Sampah, Anak-Anak Kelaparan
Penahanan Nasrul berdampak langsung pada kondisi keluarganya. Sebagai tulang punggung, Nasrul selama ini bekerja serabutan—memulung botol plastik, bekerja di bangunan jika ada panggilan. Kini, tanpa dirinya, keluarganya hidup tanpa kepastian.
“Pekerjaannya tidak menentu. Apalagi sejak Nasrul ditahan, istrinya yang menggantikan mencari barang bekas di tumpukan sampah. Ia kadang bersama anak-anaknya,” jelas Juddin.
Kondisi keluarga Nasrul semakin memprihatinkan: mereka tidak punya rumah, keenam anak mereka masih kecil, bahkan istrinya sedang hamil.
Mediasi Gagal Karena Tidak Mampu Bayar
Kasus ini sebenarnya sempat dimediasi. Namun, permintaan kompensasi dari pihak korban sebesar Rp20 juta membuat Nasrul tidak mampu memenuhi.
“Pernah dimediasi, tapi tidak sanggup ini Nasrul membayar biaya yang diminta sebesar 20 juta. Sehingga kasus ini lanjut,” ujar Juddin.
Ia menegaskan bahwa kasus ini seharusnya melihat aspek kemanusiaan, mengingat kondisi ekonomi Nasrul yang sangat memprihatinkan.
Ketika Hukum Kaku, Kemanusiaan Terluka
Penetapan tersangka terhadap Nasrul menimbulkan keprihatinan di kalangan warga. Mereka mempertanyakan mengapa proses Restorative Justice (RJ) tidak dapat diterapkan, terutama pada kasus yang melibatkan pelaku dari keluarga sangat miskin.
“Kasihan ini Nasrul pak… anaknya enam, istrinya hamil. Pekerjaan tidak ada. Mau bagaimana lagi?” ungkap Juddin.
Nasrul kini menunggu jadwal sidang dalam waktu dekat, sementara keluarganya bergantung pada belas kasihan tetangga dan hasil barang bekas yang dikumpulkan istrinya.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa proses hukum yang kaku terkadang mengabaikan konteks sosial dan kemanusiaan yang menyelimuti sebuah kasus.
Penulis : Daus
Editor : Kingzhee
Sumber Berita : Rilis Berita





























