BONE, DNID.co.id – Kunjungan kerja Menteri Pertanian Republik Indonesia, Andi Amran Sulaiman, bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, di Kabupaten Bone pada Jumat (16/05/2025) lalu dalam rangka panen jagung dan pemberian bantuan, menyisakan pekerjaan rumah yang jauh lebih mendesak: lemahnya edukasi, pengawasan, dan perlindungan terhadap petani di lapangan.
Penerapan Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025, yang menghapus syarat kadar air dan kadar hampa pada gabah kering panen (GKP), memicu tren panen dini di berbagai daerah, termasuk Bone. Banyak petani tergiur dengan jaminan harga Rp6.500/kg, dan memilih memanen lebih awal meski kualitas gabah belum maksimal. Bulir padi dipotong bahkan sebelum terisi sempurna, hanya demi memastikan gabah mereka terserap pasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di sejumlah kecamatan, informasi tentang program penyerapan Bulog justru tidak sampai ke petani. Absennya penyuluh pertanian saat masa panen membuat petani menjual gabah ke pedagang lokal dengan harga jauh di bawah HPP, yakni hanya Rp4.800–5.000/kg. Ketidaktahuan dan minimnya pendampingan menjadikan petani sasaran empuk permainan harga.
Nasib serupa dialami petani jagung di Kecamatan Tonra. Mereka mengaku terpaksa menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga Rp3.500/kg, padahal Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung ditetapkan sebesar Rp5.500/kg.
“Sebenarnya kami tahu harganya tidak sesuai, tapi kami tidak tahu harus jual ke mana. Tengkulak datang langsung dan siap beli, meskipun harganya rendah. Terpaksa kami jual daripada tidak laku,” ungkap seorang petani yang enggan disebutkan namanya.
Minimnya akses pasar dan informasi membuat petani terjebak dalam ketergantungan terhadap tengkulak. Masyarakat tani mendesak agar Satgas Pangan, Bupati Bone, serta instansi terkait segera mengambil langkah tegas. Penyuluh diminta aktif turun ke lapangan, dan intervensi pasar dari pemerintah diperlukan untuk mencegah praktik eksploitasi lebih lanjut.
Menanggapi kondisi tersebut, Kepala Perum Bulog Cabang Bone, Maysius Patintingan, menyatakan bahwa pihaknya telah mulai menyerap gabah petani, termasuk gabah dalam kondisi hijau, sesuai arahan pemerintah pusat.
“Kami mengikuti arahan pemerintah untuk menyerap gabah sebanyak-banyaknya, termasuk gabah yang belum kering sempurna. Ini sebagai bentuk dukungan kepada petani,” ujarnya, Senin (12/05/2025).
Namun, Maysius tak menampik adanya tantangan teknis. “Kami sering mendapatkan kecemburuan dari petani yang memiliki gabah kualitas baik, karena harga gabah kualitas kurang baik dan yang bagus itu sama saja. Ini jadi dilema tersendiri,” tambahnya.
Sementara itu, akademisi dari Salah satu Perguruan Tinggi di Makassar, Anwar menilai kebijakan penghapusan syarat kadar air dan hampa tanpa diikuti penguatan kelembagaan penyuluhan adalah langkah yang sangat berisiko.
“Ketika kualitas tak lagi menjadi indikator, maka orientasi produksi petani ikut berubah: asal panen, asal laku. Ini berbahaya bagi ketahanan pangan jangka panjang. Pemerintah harus sadar bahwa kebijakan teknis seperti ini tidak bisa dilepas begitu saja tanpa edukasi massif dan kontrol ketat di lapangan,” tegasnya. Minggu (18/05/2025).
Ia menambahkan, negara tidak boleh membiarkan petani bersandar pada tengkulak. “Pemerintah harus hadir secara aktif—baik dalam bentuk intervensi pasar, pengawasan, maupun pendampingan—agar petani tidak terus-menerus berada di pihak yang dirugikan,” tutup Anwar.
Anwar menegaskan bahwa menjaga kestabilan harga gabah membutuhkan sinergi aktif semua pihak terutama penyuluh pertanian, Bulog, dan pemerintah daerah agar petani tidak terus menjadi korban permainan harga pasar.
” Penyuluh tidak boleh hanya bekerja administratif. Mereka harus hadir di sawah, karena petani sangat membutuhkan informasi dan akses pasar yang adil,” tegas pejabat Dinas Pertanian Sulsel.
Situasi ini memperjelas urgensi kehadiran negara yang tidak hanya seremonial, tetapi fungsional. Tanpa pengawasan yang kuat dan edukasi yang merata, kebijakan pangan justru berisiko menciptakan ketimpangan dan merugikan mereka yang seharusnya paling dilindungi. Yang tak lain para petani.
Penulis : Ricky
Editor : Admin
Sumber Berita : Redaksi Sulsel




























