Pangkalpinang,Dnid.co.id —- Di tengah riuh baliho kandidat Pilwako yang penuh senyum dan janji, sebuah papan polos dengan enam kata telak muncul seperti tamparan di wajah politik Pangkalpinang. “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya”—pesan singkat yang menusuk, membelah antara yang merasa aman dan yang tiba-tiba gelisah.
Baliho misterius tanpa logo partai atau foto tokoh itu berdiri di sejumlah titik strategis sejak Minggu (10/8/2025). Isinya menyerukan warga menolak politik uang dengan cara tak biasa—menerima pemberian, tapi menolak menjual suara. Respons publik pun beragam, dari tepuk tangan dukungan hingga bisik-bisik kegelisahan di kubu politik jelang Pemilihan Wali Kota Pangkalpinang 2025.
Enam kata di baliho itu kini menjadi bahan perbincangan dari pasar tradisional hingga warung kopi. Gerakan ini diklaim sebagai seruan moral melawan praktik politik uang, tanpa menunjuk hidung pihak mana pun.
“Kalau pesan ini bikin resah, mungkin yang resah itu perlu bercermin,” sindir seorang aktivis demokrasi lokal. “Kalau bersih, mestinya ikut pasang baliho seperti ini, bukan malah keberatan.”
Bagi sebagian warga, pesan tersebut terasa segar dan mengajak berpikir kritis.
“Kalau ada yang mau kasih uang, ya ambil saja, tapi jangan sampai suara kita terbeli,” kata Sulastri, pedagang sayur di Pasar Pagi. “Uang habis sehari, tapi kalau salah pilih, lima tahun bisa nyusahin kita.”
Pengamat politik menilai baliho ini lebih tajam dari kampanye konvensional. “Reaksi terhadap baliho ini bisa jadi indikator. Siapa yang langsung tersinggung, mungkin dia punya alasan tertentu,” ujar seorang analis politik.
Meski belum ada pihak yang mengaku memasang, kabar beredar ada upaya diam-diam menurunkannya di beberapa lokasi. Langkah itu justru memicu rasa penasaran publik—siapa yang takut pesan ini terus terbaca warga?
Di tengah panasnya tensi Pilwako, baliho ini sudah melampaui fungsi papan informasi. Ia berubah menjadi “cermin politik” yang memantulkan siapa saja yang siap bertarung bersih, dan siapa yang khawatir jika pemilih mulai berpikir kritis.
Bagi publik, ia hanyalah enam kata di atas latar polos. Namun bagi sebagian politisi, ia mungkin adalah mimpi buruk yang tak ingin dibaca warga.
Penulis : ALE
Editor : REDAKSI DNID.CO.ID BABEL