DNID.CO.ID–BANTAENG– Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantaeng kembali jadi sorotan. Sekretaris Desa (Sekdes) Bontolojong, Kecamatan Ulu Ere, Muhammad Aris, menyuarakan kekecewaannya terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bantaeng dalam perkara pemalsuan dokumen dengan terdakwa Alif Mu’alim.
Dalam perkara dengan nomor 76/Pid.B/2025/PN Ban, JPU menuntut terdakwa dengan pidana 3 bulan penjara meski dakwaan mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHP yang memiliki ancaman maksimal 6 tahun penjara.
“Saya kecewa sekali, tuntutan Jaksa hanya 3 bulan padahal ancaman hukumannya 6 tahun maksimal,” ujar Muhammad Aris kepada wartawan, Senin (24/11/2025).
Aris juga mempertanyakan vonis hakim yang menjatuhkan hukuman 2 bulan 15 hari kepada terdakwa.
“Hakim memvonis terpidana Alif Mu’alim hanya 2 bulan 15 hari, padahal tanda tangan dan dokumen terbukti dipalsukan,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aris mengatakan setelah dirinya hadir pada sidang pertama sebagai saksi sekaligus korban, tidak pernah ada pemberitahuan dari penyidik, jaksa, maupun pengadilan terkait jalannya sidang maupun putusan.
“Kami tahunya dari orang lain, itu pun setelah lewat masa banding. Kami ini orang kampung, tidak tahu buka aplikasi atau apapun itu untuk mengecek. Harusnya ada kabar ke kami, kami sangat kecewa,” ucapnya.
JPU Izmed Bayu Hastardi, melalui Kasi Intel Kejari Bantaeng, menjelaskan bahwa seluruh tahapan penanganan perkara sudah sesuai petunjuk dan standar internal kejaksaan.
“Dari pra penuntutan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan, sudah searah dengan SOP dari internal kejaksaan, berjenjang terus setiap persidangan dia bikin Lapharsip,” ujarnya, Senin (24/11/2025).
Izmed juga menyebut seluruh administrasi dapat dipertanggungjawabkan berikut dasar pertimbangan yang memberatkan maupun meringankan terdakwa.
“Sudah sesuai dengan fakta persidangan dan apa yang terdapat di persidangan, begitu,” katanya.
Dalih Jaksa Soal Perdamaian Dibantah Korban
Terkait tuntutan 3 bulan yang dinilai terlalu rendah, Izmed menyebut salah satu alasan karena adanya perdamaian antara korban dan terdakwa.
“Soalnya sudah didamaikan juga oleh hakim. Mungkin itu menjadi salah satu pertimbangan hakim juga. Malah putusannya diturunkan dari tuntutan,” ujarnya.
Namun pernyataan itu langsung dibantah Muhammad Aris.
“Saya tidak pernah didamaikan oleh hakim dengan terpidana Alif Mu’alim, itu bohong,” tegas Aris dalam keterangan tambahannya, Selasa (25/11/2025).
Ia mengaku hanya pernah diajak berdamai oleh jaksa sebelum sidang dimulai, namun upaya itu gagal.
“Pernah diusahakan damai oleh Jaksa sebelum sidang, tapi terpidana Alif Mu’alim tidak mau damai akhirnya lanjut. Setelah itu, tidak pernah ka dikasih damai sama hakim seperti pengakuan Jaksa Izmed,” tutupnya.
Dugaan Mafia Hukum Menguat
Perbedaan keterangan antara jaksa dan korban membuat dugaan praktik mafia hukum mencuat di Bantaeng. Apalagi perkara pemalsuan dokumen tersebut dinilai jelas merugikan korban.
Majelis hakim yang menangani perkara ini terdiri dari Kinasih Puji Utami (Hakim Ketua), serta dua hakim anggota Akbar Dwi Nugrah Fakhsirie dan Tri Haryono Patria Mangambe. Putusan dibacakan pada Rabu (5/11/2025).
Kasus ini berawal dari laporan Muhammad Aris ke Polres Bantaeng pada 12 November 2024. Ia geram karena tanda tangan serta jabatannya dicatut dalam dokumen keterangan ahli waris dan surat kematian.
“Dokumen itu dibuat Alif Mualim tertanggal 27 Oktober 2023 untuk disetor ke Pengadilan Agama Bantaeng. Dalam surat itu ada kesalahan NIP dan stempel. Saya tegaskan, saya tidak pernah membuat surat tersebut,” jelas Aris.
Penulis : Dito
Editor : Kingzhee
Sumber Berita : Wawancara dengan narasumber





























