Oleh : Rindiani Aprillia Cauntesa, S.Si. Alumnus FMIPA, Universitas Lampung
Bangka Belitung – Dalam beberapa tahun terakhir, ambisi manusia untuk kembali ke Bulan mengalami kebangkitan. Setelah lebih dari lima dekade, wilayah cislunar (ruang antara Bumi dan Bulan) tidak lagi hanya menjadi tempat lalu lintas satelit, tetapi mulai diperlakukan sebagai kawasan strategis yang akan menentukan arah politik dan ekonomi antariksa masa depan. Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa sudah menyiapkan armada wahana baru untuk berlomba menguasai orbit tinggi, jalur logistik Bulan, hingga posisi-posisi yang berpotensi menjadi pangkalan masa depan. Namun di balik strategi besar itu, muncul satu persoalan yang jauh lebih konkret mengenai bagaimana cara bergerak cepat di ruang angkasa yang semakin luas, ketika energi dan propulsi konvensional sudah hampir mencapai batas fisiknya?
Roket kimia yang selama ini menjadi kebanggaan umat manusia bekerja seperti kembang api raksasa berupa ledakan besar, dorongan kuat, lalu habis. Sistem ini efektif untuk mencapai orbit rendah dari Bumi. Specific impulseĀ roket kimia berhenti di sekitar 450 detik, angka yang sudah tidak bisa lagi didorong jauh lebih tinggi. Ketika misi semakin menjauh dari Matahari, panel surya melemah, baterai cepat habis, dan manuver kompleks di orbit cislunar menjadi tidak realistis jika hanya mengandalkan teknologi lama. Tidak mengherankan jika para insinyur kini bertanya-tanya: apakah manusia bisa benar-benar menjelajahi ruang angkasa dengan roket yang bekerja seperti di tahun 1960?
Program Demonstration Rocket for Agile Cislunar OperationsĀ (DRACO) yang digagas oleh DARPA dan NASA menjadi tonggak penting dalam menghidupkan kembali gagasan roket nuklir yang sempat tenggelam sejak era NERVA. Gagasannya sederhana tetapi revolusioner. DRACO menggunakan energi fisi untuk menghasilkan panas luar biasa besar, cukup untuk mendorong hidrogen cair menjadi gas super-panas yang mampu membawa wahana jauh lebih cepat dari roket kimia. Konsep ini disebut Nuclear Thermal PropulsionĀ (NTP), dan jika berhasil, ia dapat memangkas waktu tempuh ke Mars hingga setengahnya. Bagi wilayah cislunar, kemampuan ini berarti memiliki manuver cepat, efisiensi bahan bakar tinggi, dan fleksibilitas operasional yang belum pernah dimiliki sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak awal diumumkan pada 2023, program DRACO langsung menarik perhatian dunia. Lockheed Martin ditunjuk sebagai pengembang utama, sementara BWX Technologies mengerjakan reaktor mini bertenaga High-Assay Low-Enriched UraniumĀ (HALEU), bahan bakar nuklir generasi baru yang jauh lebih aman dibandingkan uranium. Pemerintah AS bahkan menyiapkan rencana peluncuran awal pada tahun 2027, sebuah target ambisius yang menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pemerhati antariksa. āBenarkah kita akan melihat roket nuklir meluncur hanya dalam waktu dua tahun lagi?ā begitu kira-kira kegelisahan publik saat dokumen lingkungan untuk DRACO dirilis. Di dalam dokumen itu tertulis jelas bahwa demonstrasi roket nuklir akan dilakukan ātidak lebih awal dari 2027ā, dengan lokasi peluncuran di Kennedy Space Center dan orbit uji yang cukup tinggi yaitu antara 700 hingga 2.000 kilometer.
Namun harapan besar itu ternyata bertemu dengan realitas yang jauh lebih rumit. Menggabungkan dua dunia yakni keamanan nuklir dan jaminan keselamatan antariksa, ternyata tidak semudah mendesain roket. Pada awal 2025, muncul laporan bahwa persyaratan pengujian reaktor nuklir membuat jadwal peluncuran āon holdā. DARPA harus menimbang ulang biaya, risiko, dan jadwal program. Dalam sebuah laporan internal, bahkan muncul kabar bahwa proyek DRACO berpotensi dihentikan sebagai proyek penuh, meskipun teknologi yang dikembangkan tidak akan hilang dan tetap dapat digunakan di masa depan. Wahana, komponen reaktor, dan beberapa hasil uji material akan disimpan di fasilitas NASA, dan tidak menutup kemungkinan bahwa proyek lain akan melanjutkan pekerjaan DRACO di kemudian hari.
Meski begitu, perkembangan teknis program ini tetap mengesankan. Uji kumpulan komponen inti menunjukkan bahwa nozzleĀ skala 60% berhasil menahan suhu sekitar 2.700 Kelvin dalam dua puluh kali penyalaan. Pompa hidrogen suhu ekstrem juga berhasil diujicobakan. Sementara itu, desain reaktor yang menggunakan control drumsĀ yaitu silinder berputar untuk mengontrol laju reaksi fisi juga telah menunjukkan stabilitas yang baik. Semua ini menandakan bahwa teknologi NTP bukan lagi sekadar konsep, melainkan mulai menapaki tahap rekayasa nyata.
Rencana peluncuran tahun 2027 adalah target awal yang dicanangkan NASA dan DARPA. Namun dengan adanya evaluasi ulang, jadwal itu kemungkinan bergeser. Meski demikian, fakta bahwa program ini mendapat dukungan lembaga besar dan minat internasional berarti bahwa uji coba roket nuklir bukanlah pertanyaan āapakah akan terjadiā, tetapi lebih kepada ākapan tepatnya akan dilakukan?ā Bahkan jika DRACO sebagai proyek resmi dihentikan, langkah-langkah yang sudah ditempuh membuka jalan bagi teknologi yang lebih besar.
Sementara Barat berfokus pada kecepatan dan manuver lincah melalui propulsi termal (NTP) dalam program DRACO, kawasan lain mengambil pendekatan yang berbeda. Di Eropa, ESA tengah mengembangkan proyek RocketRoll yang berfokus pada propulsi nuklir berbasis listrik. Jalur serupa namun lebih masif ditempuh oleh Rusia lewat proyek Zeus. Dikembangkan oleh Roscosmos dan Keldysh Research Center, Zeus adalah ākapal tundaā antariksa (space tug) yang menggunakan teknologi Nuclear Electric PropulsionĀ (NEP). Berbeda dengan DRACO yang memanaskan hidrogen untuk dorongan instan yang eksplosif, reaktor 500 kilowatt milik Zeus berfungsi sebagai pembangkit listrik raksasa di orbit yang menyuplai daya untuk mesin ion (plasma). Jika DRACO didesain untuk manuver lincah di cislunar, Zeus dirancang sebagai ātruk kargoā antarplanet yang sanggup mengangkut muatan berat dalam misi jangka panjang, dengan target penerbangan uji coba ke Jupiter mulai tahun 2030. NASA sendiri sudah menyatakan bahwa teknologi NTP kemungkinan akan dibutuhkan pada misi berawak ke Mars pada 2030-an. Dengan kata lain, DRACO mungkin hanya salah satu bab awal dari revolusi propulsi antariksa dalam skala yang lebih luas.
Akhirnya, keberadaan DRACO mengingatkan kita bahwa eksplorasi antariksa selalu bergerak maju melalui kombinasi ambisi dan keberanian. Teknologi nuklir, yang dulu hanya dibayangkan di film fiksi ilmiah, kini menjadi kandidat paling realistis untuk membawa manusia memasuki era perjalanan antariksa jarak jauh. Jika rencana 2027 benar-benar terwujud, itu akan menjadi langkah pertama umat manusia menuju moda transportasi antarplanet yang lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan. Dan jika tidak, fondasi yang dibangun DRACO tetap akan menjadi batu loncatan penting menuju masa depan tersebut.





























