Gowa, dnid.co.id — Penanganan perkara tindak pidana ringan (tipiring) dugaan penganiayaan di Kabupaten Gowa kembali menuai sorotan publik. Setelah sebelumnya terungkap adanya perubahan status hukum seorang warga dalam sejumlah surat kepolisian, kini perhatian publik mengarah pada tindakan Sat Samapta Polres Gowa yang menyebut warga sebagai “terdakwa” dalam dokumen penyidikan, Gowa, Sabtu (27/12/2025).
Dalam pemberitaan sebelumnya, diketahui status hukum seorang warga berinisial MS berubah-ubah dalam surat resmi Sat Samapta Polres Gowa, mulai dari undangan klarifikasi tanpa status hukum, kemudian disebut sebagai saksi, hingga akhirnya dicantumkan sebagai terdakwa dalam surat panggilan tertanggal 8 Desember 2025.
Keheranan tersebut disampaikan oleh N, anak dari MS. Ia menyebut keluarga baru mengetahui adanya status terdakwa justru dari surat kepolisian, tanpa pernah menerima surat penetapan tersangka sebagaimana lazimnya dalam proses hukum pidana.
“Yang janggal ini karena dari pengancaman langsung beralih ke penganiayaan,” ujar N.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, sejak awal penanganan perkara, keluarga tidak pernah menerima penjelasan mengenai perubahan pasal maupun status hukum ayahnya. Ketika keluarga menanyakan surat penetapan tersangka, aparat justru langsung menunjukkan surat lain.
“Ini saja langsung,” kata N, sembari memperlihatkan surat yang menyebut ayahnya sebagai terdakwa.
Untuk memperjelas persoalan tersebut, redaksi meminta pandangan sejumlah praktisi hukum terkait kewenangan kepolisian dalam menyebut seseorang sebagai terdakwa. Salah satu praktisi hukum menyatakan bahwa apabila seluruh alat bukti telah terpenuhi di tahap kepolisian, maka status hukum yang digunakan tetap tersangka. Ketiadaan surat penetapan tersangka dinilai sebagai kejanggalan serius dalam administrasi penyidikan.
Praktisi hukum lainnya menegaskan bahwa penggunaan istilah terdakwa merupakan kewenangan pada tahap penuntutan dan persidangan, bukan kewenangan kepolisian, termasuk dalam penanganan perkara tipiring.
Sementara itu, Penyidik Pembantu Tipiring Sat Samapta Polres Gowa, Brigpol Khaidir Maulana, membenarkan bahwa perkara tersebut merupakan limpahan dari Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) setelah dilakukan gelar perkara.
“Limpahannya Reskrim ini. Reskrim sudah gelar perkara, hasil gelar perkaranya dilimpahkan ke tindak pidana ringan dengan hasil visum yang tidak nampak luka dan semacamnya,” ujar Brigpol Khaidir Maulana saat dikonfirmasi melalui telepon WhatsApp.
Terkait penyebutan status “terdakwa” dalam surat Sat Samapta, Brigpol Khaidir mengaku heran saat ditunjukkan foto surat tersebut. Menurutnya, status yang digunakan dalam administrasi penyidikan bukan terdakwa.
“Tersangka kayaknya deh. Saya cari dulu arsip suratku. Kalau di saya tersangka,” ujarnya.
Terpisah, Kasat Samapta Polres Gowa AKP Cahyadi, saat dikonfirmasi mengenai polemik tersebut, meminta agar klarifikasi diarahkan kepada Aipda Andi Bangsawan yang disebut sebagai penyidik tipiring.
“Betul bro. (Ia) juga penyidik Tipiring. Soalnya saya telepon Khaidir nomornya sibuk, lagi Pam Unras,” kata AKP Cahyadi melalui pesan whatsapp.
Namun, berdasarkan dokumen yang diperoleh, nama Aipda Andi Bangsawan tidak tercantum sebagai penyidik dalam surat-surat Sat Samapta maupun dalam administrasi penanganan perkara tersebut.
Sorotan publik terhadap Sat Samapta Polres Gowa semakin menguat karena dalam perkara ini juga muncul persoalan lain, seperti tidak ditemukannya surat pelimpahan resmi dari Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) ke Sat Samapta, meski penyidik menyebut perkara tersebut merupakan hasil limpahan setelah gelar perkara.
Meski Pengadilan Negeri Sungguminasa telah menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, publik menilai rangkaian proses awal penanganan perkara, khususnya terkait penetapan status hukum oleh kepolisian, tetap menyisakan pertanyaan serius mengenai tertib administrasi dan kepastian hukum dalam penanganan perkara tipiring.





























