Breaking News

Radio Player

Loading...

Antua tak Butuh Amerika

Senin, 1 Desember 2025

URL berhasil dicopy

URL berhasil dicopy

Oleh: Ziyad Rizqi

Muhammad Kasim Arifin, seorang mahasiswa Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), menjadi legenda hidup melalui dedikasinya yang luar biasa. Kasim lahir pada 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur, tumbuh dalam keluarga sederhana yang menanamkan nilai-nilai kerja keras dan kepedulian terhadap alam. Kisahnya, yang diabadikan dalam buku Seorang Lelaki di Waimital karya Hanna Rambe (1983), menggambarkan perjalanannya yang memilih bergelut dengan lumpur sawah daripada gelar akademik. Kasim, menjadi inspirasi ideal bagi generasi pengabdi masyarakat.

Sejak kecil, Kasim dikenal sebagai anak yang tekun. Di Langsa, ia sering membantu orang tuanya di ladang, yang kemudian membentuk karakternya senang dengan tanah. Pada 1958, ia memasuki IPB, tinggal di asrama Ekasari hingga 1965. Di sana, ia mendalami ilmu yang mempelajari cara mengelolah tanaman pertanian. Agronomi. Jurusan yang selaras dengan passionnya terhadap pertanian berkelanjutan. Buku Hanna Rambe mengisahkan bagaimana masa kuliah Kasim penuh semangat, meski ia sering merenungkan ketimpangan antara ilmu kota dan realitas desa.

ads

Pada 1964, IPB meluncurkan Program Pengerahan Tenaga Mahasiswa, yang sekarang kita kenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kasim dan rekan-rekannya ditugaskan ke Desa Tunggakjati dan Tanjungpura, Karawang, untuk memperkenalkan Panca Usaha Tani—sistem terpadu yang mencakup pemilihan benih unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama, dan pemanenan. Keberhasilan di Karawang membuka pintu bagi ekspansi nasional, dan Kasim terpilih untuk misi selanjutnya ke Maluku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Awal Oktober 1964, Kasim berangkat ke Waimital, sebuah desa terpencil di Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat, Pulau Seram. Bersama dua juniornya, ia tiba di Gemba—nama awal desa itu—melalui Demonstrasi Massal Swasembada Bahan Makanan (DEMAS-SSBM), proyek kolaborasi IPB dan pemerintah. Tugas utamanya: membimbing petani transmigran mencapai swasembada padi.

Tiba di Waimital, Kasim merasa sedih. Desa itu didirikan sejak 1954 sebagai lokasi transmigrasi, dengan gelombang pertama 880 jiwa dari Jawa, diikuti 233 jiwa pada 1970-1971, dan 479 jiwa pada 1972-1973. Petani-petani miskin ini hidup dalam keadaan ekstrem: lahan gersang, air langka, dan hasil panen minim. Hutan lebat mengelilingi, sementara hama dan banjir merusak segalanya. Kasim, dengan latar belakang agronomi, langsung tergerak untuk bertindak.

Tanpa menunggu lama, Kasim melebur dengan masyarakat. Ia tinggal di bekas asrama transmigrasi yang reyot, mengenakan sandal jepit dan baju lusuh, bahkan sering bertelanjang kaki. Ia menolak kenyamanan kota, memilih berjalan kaki 20 kilometer setiap hari keluar-masuk hutan ke pemukiman warga. Pendekatannya berbasis farmer first—belajar dari petani sebelum mengajari—membuatnya cepat diterima.

Kontribusi pertama Kasim adalah membuka lahan pertanian baru. Dengan tangan kosong dan alat sederhana, ia dan warga menebas hutan rimba untuk mencetak sawah seluas ratusan hektar. Ia mengajarkan rotasi tanaman, mulai dari padi ke jagung dan ubi, untuk menjaga kesuburan tanah. Tanpa bantuan pemerintah, proyek ini murni mandiri, didorong semangat gotong royong yang ia bangkitkan. Hasilnya, panen pertama meningkat dua kali lipat.

Irigasi menjadi tantangan berikutnya. Waimital kekurangan air, dengan sungai kering di musim kemarau. Kasim memimpin pembangunan bendungan sederhana dari kayu dan batu dengan panjang delapan kilometer, tanpa bantuan mesin. Buku Hanna Rambe detail bagaimana ia tusuk-tusuk tanah kerontang selama tiga tahun, membawa air mengalir ke ladang-ladang kering. Kini, bukit-bukit yang dulu tandus basah oleh irigasi alami, mengubah wajah desa. Itu berkat Kasim.

Pengendalian hama juga jadi fokus. Kasim memperkenalkan pestisida organik dari daun tembakau dan neem lokal, menghindari bahan kimia mahal dan merusak kesuburan tanah. Ia mendirikan sekolah lapangan, mengajari petani mengenali hama seperti wereng dan ulat grayak. Pendekatannya holistik: tak hanya tanaman, tapi juga ternak sapi dan ayam untuk diversifikasi. Masyarakat, yang awalnya skeptis, kini bergantung padanya sebagai guru sawah.

Keswasembadaan makanan adalah visi utama. Kasim menghitung kebutuhan pangan desa, memastikan setiap keluarga punya stok beras setahun. Ia bangun gudang pengawetan untuk jagung dan ubi untuk mencegah pembusukan. Kasim juga mencatat laju kerusakan hutan Indonesia per detik, memperingatkan warga agar tak tebang sembarangan. “Bumi ini pinjaman, bukan milik kita,” katanya sering

Kehidupan sehari-hari Kasim penuh pengorbanan. Bangun subuh untuk berdoa, lalu menuju ladang sambil mengobrol dengan petani. Makanannya sederhana: nasi jagung dan ikan asin. Ia menolak gaji. Perawakannya memang kurus, tapi tekadnya lurus. Perkara pemenuhan kebutuhan hidupnya ia dulang dari hasil kebun sendiri. Meski kerap terserang malaria, ia kaut-kuatkan agar tetap bekerja. “Saya bukan tamu, saya saudara,” ucapnya, yang membuat warga menghormatinya.

Masyarakat Waimital menyapanya Antua—sebutan hormat di Maluku untuk orang bijak dan dihormati. Julukan ini lahir atas kepeduliannya; mediasi konflik tanah hingga membangun jalan desa sepanjang kilometer. Gotong royong jadi budaya baru sehingga warga tak lagi pasif menunggu bantuan. Desa yang dulu tandus kini punya sumber air baru dan panen yang berlimpah.

Sementara itu, di Bogor, teman-teman Kasim wisuda dan suda ada yang jadi pejabat. Mereka kirim surat, tapi Kasim balas singkat: “Belum cukup.” Orang tuanya di Langsa khawatir, bahkan sempat menganggap Kasim hilang. Rektor IPB, Prof. Andi Hakim Nasution, memanggilnya pulang berkali-kali agar juga di wisuda seperti temannya yang lain. Berkali-kali pula Kasim menolak. Kasim memprioritaskan pengabdian, bahkan lebih berambisi dibanding dengan kuliah, kerja, lalu menikah yang menjadi rumus bahagia konvensional.

Panggilan ketiga agar ia pulang untuk di wisuda, datang 1979. Rektor mengutus Saleh Widodo, sahabat Kasim, ke Waimital. Saleh mendapati Kasim di ladang. Setelah bujuk rayu yang panjang, Kasim setuju pulang—bukan untuk gelar, tapi karena teman. Ia tiba di Hotel Salak, Bogor, 21 September 1979, menggunakan sandal jepit, dikelilingi temannnya bak artis ternama. Temannya, membawakan jas dan sepatu. Awalnya ditolak, akhirnya dikenakan juga karena temannya bersikeras.

Malam sebelum wisuda, Kasim gelisah. AC hotel dan hiruk-pikuk jalan mengganggu tidurnya yang terbiasa dengan angin hutan. Esoknya, 22 September 1979, ia masuk gedung IPB dengan ragu-ragu dan memilih kursi paling belakang. Tapi saat namanya disebut, sorak-sorai gemuruh, “Kasim! Antua!” Semua berdiri dengan tepuk tangan riuh. Gedung dan seisinya berkesan haru.

Wisuda itu spesial. Kasim mendapat gelar Insinyur Pertanian Istimewa—bukan karena skripsi, tapi rekaman 28 jam wawancara teman tentang pengabdiannya. Dengan mata basah, seorang dosen memuji kasim. “Kau insinyur kehormatan semua wisudawan.”

Taufiq Ismail, sahabat dan juga penyair populer, menuliskan puisi untuk Kasim:

 

Dari pulau itu, dia telah pulang

Dia yang dikabarkan hilang

Lima belas tahun lamanya

Di Waimital, Kasim mencetak harapan

Di kota kita mencetak keluhan

(Aku jadi ingat masa kita diplonco dua puluh dua tahun yang lalu)

Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca

Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi

Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku

Ketika aku mengingatmu, Sim

Di Waimital engkau mencetak harapan

Di kota, kami …

Padahal awan yang tergantung di atas Waimital,

adalah Awan yang tergantung di atas kota juga

Kau kini telah pulang Kami memelukmu.

 

Setelah wisuda, Kasim mendapat banyak tawaran. Pejabat, dosen, dan studi banding Amerika. Tapi, ia tolak semua. “Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan di sini?” kata kasim menentang

Ia pulang ke Waimital, lanjut membangun desanya disana. Kasim menikah dengan guru Bahasa Indonesia dari Banda Aceh. Anak sulungnya kuliah di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Keluarga kecilnya pindah ke Aceh, tapi hati Kasim tetap di Seram.

Pada 1982, pemerintah memberinya Kalpataru atas wawasan, dedikasi, serta abdinya terhadap lingkungan, tapi Kasim buang. Berkatnya, Desa Waimital maju. Swasembada pangan dan hutan lestari. Namanya diabadikan jadi jalan dan gugus pramuka di Kairatu.

Kemudian, Kasim terima dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, hingga pensiun 1994. Di sana, ia mengajar agronomi dengan cerita Waimital. Tentu menjadi inspirasi bagi mahasiswanya.

Hingga akhir hayat, 26 Juli 2006 di Banda Aceh, Kasim tetaplah aktivis lingkungan. Ia punya catatan terkait kerusakan hutan dan sering mengadvokasi reboisasi. Kisahnya, dari mahasiswa hilang jadi Antua abadi, mengajarkan bahwa pengabdian tak butuh panggung. Seperti puisi Taufiq: “Awan di atas Waimital adalah awan di atas kota juga.” Kasim pulang, tapi legenda tetap. Kasim abadi.

Warisan Kasim hidup di Waimital karena desa telah mandiri dan petani sejahtera karena abdinya. Ia preseden terbaik untuk pengabdian masyarakat. Inspirasi inilah yang kemudian mendorong program KKN modern. Kasim adalah refleksi bagi mahasiswa, bahwa, ilmu itu untuk rakyat, bukan pengembangan diri semata.

Berita Terkait

Pekon Purwodadi Matangkan Persiapan Penilaian Adipura Kabupaten Tanggamus
Kuntau Pagaruyung Laskar Kincir Angin Asuhan Meriahkan Pesta Pernikahan 
Pekon Sukarame Kembali Menyalurkan Bantuan Langsung Tunai BLT DD
Bekisah di Surau Dekat Reaktor
Ketika “Nuklir Mini” Mengantar NASA Menjelajah Semesta
PLTN dan Bukti Bahwa Nuklir Bisa Bersahabat dengan Alam
Teknologi Keamanan PLTN pada Lokasi Aman di Ring of Fire
Rumah Nyaris Rubuh di Perbatasan Pekon Banjarsari–Sinar Banten, Layak dibantu Pemerintah
Berita ini 44 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 1 Desember 2025 - 20:30 WITA

Antua tak Butuh Amerika

Senin, 1 Desember 2025 - 19:32 WITA

Pekon Purwodadi Matangkan Persiapan Penilaian Adipura Kabupaten Tanggamus

Minggu, 30 November 2025 - 14:32 WITA

Kuntau Pagaruyung Laskar Kincir Angin Asuhan Meriahkan Pesta Pernikahan 

Selasa, 25 November 2025 - 16:23 WITA

Pekon Sukarame Kembali Menyalurkan Bantuan Langsung Tunai BLT DD

Senin, 24 November 2025 - 18:50 WITA

Bekisah di Surau Dekat Reaktor

Senin, 24 November 2025 - 18:46 WITA

Ketika “Nuklir Mini” Mengantar NASA Menjelajah Semesta

Senin, 24 November 2025 - 18:41 WITA

PLTN dan Bukti Bahwa Nuklir Bisa Bersahabat dengan Alam

Senin, 24 November 2025 - 18:36 WITA

Teknologi Keamanan PLTN pada Lokasi Aman di Ring of Fire

Berita Terbaru