Makassar, DNID.co.id “Anak-anak, mari kita duduk melingkar. Kali ini, Pak Guru mau bercerita tentang seorang pria hebat bernama Warren Buffett. Siapa yang pernah dengar namanya?” tanya Pak Guru dengan senyum hangat.
Beberapa siswa mengangkat tangan, sebagian lagi menggeleng.
“Warren Buffett,” lanjut Pak Guru, “adalah salah satu orang terkaya di dunia. Tapi, tahukah kalian? Kekayaannya tidak datang dari lotere, judi, atau keberuntungan instan. Ia membangun kekayaannya perlahan-lahan, dengan kerja keras dan keputusan yang bijaksana.”
Pak Guru mendekat, membuat suasana makin khidmat. “Suatu kali, Buffett pernah berkata, ‘Perjudian dan tiket lotere adalah pajak bagi orang-orang yang tidak mengerti matematika.’ Apa maksudnya? Mari kita bayangkan.”
Bayangkan kalian tinggal di Desa Matematika, tempat semua orang suka berhitung. Suatu hari, Pak Joko, pemilik warung, mengumumkan bahwa ia menjual tiket ajaib. Tiket itu bisa membuat orang kaya mendadak. Hanya dengan Rp10.000, kalian bisa memenangkan Rp10 juta! Wah, semua orang jadi tertarik.
Tapi ada seorang anak cerdas bernama Bimo. Ia memutuskan untuk menghitung peluang menangnya. Ia menemukan bahwa ada satu juta tiket, dan hanya satu yang menang. Peluangnya adalah satu banding sejuta! “Kalau begitu,” pikir Bimo, “lebih baik uangku ditabung atau diinvestasikan. Itu pasti lebih berguna.”
Namun, banyak orang di desa tetap membeli tiket, berharap menjadi kaya. Sebulan kemudian, tidak ada yang menang. Uang mereka habis, dan Pak Joko justru makin kaya dari penjualan tiket itu.
“Anak-anak, bukankah cerita itu mengajarkan sesuatu?” tanya Pak Guru. “Banyak orang tergoda oleh janji mendadak kaya, tetapi mereka lupa menghitung peluang. Seperti kata Buffett, lotere itu bukan soal keberuntungan, melainkan jebakan bagi orang yang tak memahami matematika.”
Pak Guru menghela napas, matanya menatap murid-murid satu per satu. “Di Indonesia, ada banyak cerita seperti ini. Orang-orang menghabiskan uang untuk berjudi, membeli lotere, atau bermain judi online. Tapi apa hasilnya? Kebanyakan dari mereka justru jatuh miskin. Ada keluarga yang hancur karena utang judi. Bahkan, ada yang melakukan kejahatan karena putus asa.”
“Bayangkan, anak-anak,” Pak Guru melanjutkan, “jika uang yang kita gunakan untuk membeli tiket lotere itu kita tabung atau kita investasikan. Dalam beberapa tahun, uang itu bisa bertambah dan membantu kita mewujudkan mimpi. Seperti Warren Buffett, ia tidak pernah mengandalkan keberuntungan. Ia belajar, bekerja keras, dan bersabar. Ia menanam uangnya di tempat yang tepat, dan kini ia adalah salah satu orang terkaya di dunia.”
Pak Guru tersenyum lagi, kali ini lebih dalam. “Jadi, jika ada yang menawarkan kalian jalan pintas menuju kekayaan, ingatlah cerita ini. Kekayaan yang sejati tidak datang dari keberuntungan, tetapi dari kerja keras, perencanaan, dan kesabaran.”
“Anak-anak, jangan mudah tergoda oleh lotere atau judi. Mereka hanya akan membawa kita pada jalan yang salah. Mulai sekarang, mari belajar seperti Warren Buffett. Belajar menghitung, belajar berinvestasi, dan belajar bersabar. Dengan cara itu, kita bisa menjadi orang sukses yang jujur dan bermartabat.”
Pak Guru mengakhiri dongengnya dengan tepukan kecil di papan tulis. “Bagaimana, kalian siap menjadi seperti Warren Buffett?”
Semua siswa serentak menjawab, “Siap, Pak Guru!”
— SELAMA PAGI—
Penulis : Bambang Nur Rahmat
Editor : Admin
Sumber Berita : Redaksi Sulsel