Oleh: Aden Herawati
Diabetes melitus, khususnya tipe 2, kian menunjukkan dirinya sebagai salah satu ancaman paling nyata terhadap kesehatan masyarakat dunia. Sebagai penyakit metabolik kronis, diabetes melitus ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah yang berlangsung dalam jangka panjang, baik karena resistensi terhadap insulin maupun akibat produksi insulin yang tidak mencukupi.
Kondisi ini, jika tidak dikendalikan dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi serius yang menyerang berbagai organ vital seperti jantung, ginjal, mata, pembuluh darah, hingga sistem saraf. Dalam konteks yang lebih luas, diabetes bukan hanya berdampak pada individu yang mengalaminya, tetapi juga menjadi beban besar bagi sistem kesehatan dan perekonomian negara.

ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan terbaru dari International Diabetes Federation (IDF) dalam Diabetes Atlas 2025 menunjukkan bahwa pada tahun 2024, terdapat sekitar 589 juta orang dewasa berusia antara 20 hingga 79 tahun yang hidup dengan diabetes di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% merupakan penderita diabetes tipe 2. Proyeksi IDF menunjukkan lonjakan tajam hingga mencapai 853 juta penderita pada tahun 2050. Lonjakan ini tidak terlepas dari faktor-faktor seperti urbanisasi yang masif, peningkatan usia harapan hidup, gaya hidup sedentari, dan prevalensi obesitas yang terus meningkat.
Data tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat sekitar 81% kasus diabetes terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan ganda dalam hal sumber daya dan infrastruktur kesehatan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, IDF mencatat bahwa pada tahun 2024, diabetes telah menyebabkan sekitar 3,4 juta kematian di seluruh dunia — atau satu kematian setiap sembilan detik. Di balik angka tersebut, terdapat jutaan keluarga yang kehilangan orang terkasih, serta jutaan lainnya yang harus berjuang dengan komplikasi jangka panjang yang mengganggu kualitas hidup. Selain berdampak pada aspek kesehatan, beban ekonomi akibat diabetes juga sangat signifikan.
Total pengeluaran global untuk penanganan dan pengobatan diabetes mencapai angka fantastis sebesar 1 triliun dolar AS pada tahun 2024, meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 17 tahun sebelumnya. Angka ini mencerminkan tekanan berat yang harus ditanggung oleh sistem kesehatan nasional di berbagai negara dalam menyediakan layanan yang memadai bagi penderita diabetes.
Indonesia sendiri termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia. Berdasarkan data IDF, pada tahun 2000 tercatat sebanyak 5,7 juta orang dewasa Indonesia mengidap diabetes. Angka ini meningkat menjadi 7,3 juta pada tahun 2011, dan melonjak drastis menjadi 20,4 juta pada tahun 2024.
Proyeksi ke depan menunjukkan tren yang makin mengkhawatirkan: pada tahun 2050, diperkirakan sebanyak 28,6 juta penduduk Indonesia akan hidup dengan diabetes. Peningkatan ini menunjukkan bahwa diabetes bukan lagi penyakit yang menyerang individu tertentu saja, melainkan telah menjadi epidemi nasional yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal usia, jenis kelamin, ataupun status sosial ekonomi.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 memberikan gambaran lebih rinci tentang kondisi ini. Tercatat sebanyak 877.531 kasus diabetes melitus di seluruh Indonesia, angka yang hanya mencerminkan kasus yang telah terdiagnosis. Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi, mengingat banyak penderita diabetes yang tidak menyadari bahwa mereka mengidap penyakit ini hingga muncul gejala atau komplikasi serius.
Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, berada pada peringkat ke-8 secara nasional dengan jumlah penderita diabetes yang telah terdiagnosis sebanyak 29.481 orang. Fakta ini mencerminkan persebaran kasus diabetes yang cukup merata di seluruh provinsi di Indonesia.
Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tren meningkatnya kasus diabetes di kalangan usia muda. Di Provinsi Sulawesi Selatan, kelompok usia 15 hingga 24 tahun tercatat memiliki angka kasus sebesar 139.891. Angka ini memberikan sinyal kuat bahwa diabetes tidak lagi terbatas pada kelompok usia lanjut, tetapi juga telah menyasar generasi muda. Fenomena ini menandakan terjadinya pergeseran pola penyakit dan gaya hidup masyarakat yang perlu diwaspadai.
Kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan tinggi gula dan lemak, serta paparan terhadap stres berkepanjangan menjadi faktor risiko utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi diabetes di kalangan remaja dan dewasa muda.
Menghadapi kenyataan ini, berbagai pihak diingatkan untuk tidak tinggal diam. Laporan IDF secara tegas menyerukan perlunya intervensi yang cepat, menyeluruh, dan terkoordinasi dari seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah, pembuat kebijakan, tenaga kesehatan, sektor pendidikan, media massa, hingga masyarakat umum perlu mengambil bagian aktif dalam upaya pencegahan dan pengendalian diabetes.
Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan meliputi edukasi kesehatan sejak dini, promosi gaya hidup aktif dan sehat, pemeriksaan kesehatan rutin secara berkala, dan penyediaan akses layanan kesehatan yang inklusif dan terjangkau, terutama bagi kelompok rentan dan masyarakat di daerah terpencil.
Salah satu pendekatan yang sangat penting adalah perubahan gaya hidup. Mengadopsi pola makan seimbang dengan mengurangi konsumsi makanan olahan dan tinggi gula, meningkatkan aktivitas fisik minimal 30 menit per hari, serta menjaga berat badan ideal merupakan langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan oleh siapa saja.
Pemerintah juga perlu memberikan dukungan melalui kebijakan publik yang pro-kesehatan, seperti pengaturan iklan makanan tidak sehat, peningkatan pajak terhadap produk-produk tinggi gula, dan penyediaan ruang publik yang mendukung aktivitas fisik.
Selain itu, peran tenaga kesehatan dalam mendeteksi dini dan mengelola kasus diabetes sangat krusial. Pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan, serta penguatan layanan primer untuk pengelolaan penyakit tidak menular, termasuk diabetes, perlu terus ditingkatkan. Deteksi dini dapat mencegah atau menunda munculnya komplikasi, sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi beban biaya perawatan jangka panjang.
Dari sisi masyarakat, peningkatan kesadaran akan pentingnya pemeriksaan kesehatan berkala dan gaya hidup sehat adalah kunci utama. Edukasi tidak hanya harus dilakukan di fasilitas kesehatan, tetapi juga di lingkungan sekolah, tempat kerja, rumah ibadah, serta melalui platform digital yang menjangkau generasi muda.
Krisis diabetes yang tengah terjadi merupakan panggilan darurat bagi semua pihak untuk bertindak. Bila tidak ada perubahan nyata dalam beberapa tahun ke depan, dunia, termasuk Indonesia, akan menghadapi konsekuensi kesehatan masyarakat yang jauh lebih berat dan mahal.
Kini adalah waktu yang tepat untuk membalikkan arah dari membiarkan diabetes berkembang tak terkendali menjadi sebuah gerakan bersama yang mendorong gaya hidup sehat dan sistem pelayanan kesehatan yang lebih responsif dan adil.
Langkah kolektif yang segera dan berkelanjutan dapat menyelamatkan jutaan nyawa di masa depan. Untuk itu, mari kita semua baik sebagai individu, keluarga, komunitas, maupun bangsa bergandengan tangan menghadapi ancaman diabetes dan membangun masa depan yang lebih sehat dan kuat.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar Semester VI
Editor : Dito